Cerpen Arie MP Tamba
Di masa depan, Tio akan mengulang-ulang terus pengalaman masa lalu seperti pada tengah hari yang nahas itu. Setelah gagal mendapatkan angkutan umum yang akan membawanya pulang ke rumah, ia terdampar di sebuah mulut gang di pusat pertokoan dan perkantoran. Seorang anak lelaki dengan kaca mata hitam ditegakkan di kepala, menghampiri dengan tatapan curiga. Si anak mengenakan rompi kulit berwarna coklat longgar, membungkus belakang tubuhnya sampai ke pantat; kaus kuning melebihi ukuran badan sampai ke lutut; celana jins kepanjangan, hingga bagian kakinya digulung berkali-kali; dan sepatu kets putih yang juga kebesaran, hingga ia menyeret kedua kakinya agar sepatu itu tidak terlepas.
Anak itu, dengan dua arloji di tangan kanan dan dua arloji di tangan kiri, mengeluarkan sebungkus coklat besar dari kantung rompi, merobek bungkusnya, lalu mengunyah dengan lahap, seraya menoleh ke arah keramaian yang bergemuruh di jalan besar pertokoan dan perkantoran yang tak jauh dari mulut gang itu.
Huru-hara masih berlangsung. Orang-orang bergerombol berteriak-teriak riuh dan menyerbu kalap, membuka paksa pintu-pintu dorong dan jeruji toko-toko dengan tangan, linggis, dan berbagai peralatan yang terjangkau dan dipungut sekenanya di jalan atau sengaja dibawa dari rumah. Lalu, setelah toko-toko yang ditinggalkan para penghuninya dengan ketakutan itu terbuka menganga tanpa tuan, para penyerbu saling berebutan menjarah berbagai barang yang terhampar atau teronggok di hadapan, menyeretnya menjauh, mengangkatnya dengan kedua tangan, mengusungnya di pundak, langsung memasukkan ke dalam kantung plastik atau buntalan kain, membopongnya meninggalkan toko dengan tergesa, serabutan, namun bersiaga terhadap kemungkinan perampasan oleh yang lain; lalu berlari-lari, meliuk-liuk mengamankan barang-barang itu, di antara orang-orang berseliweran dengan keperluan serupa.
Maka, bergulung-gulung karpet, pakaian, benang; berkardus-kardus sepatu, rokok, kosmetik, minyak wangi, kalkulator, radio, taperecorder, kaset, CD, termos; berbuntal-buntal arloji, topi, buku, blangkon, tas; berbungkus-bungkus bumbu masak, keripik udang, permen, coklat, keju, kue bolu, beras, kopi, gula, mie instan, roti kaleng, kecap, sirup, panci; simpang-siur dalam bawaan orang-orang yang dengan sigap ingin cepat-cepat menyembunyikan di pangkalan sementara, atau langsung menuju rumah bila rumah mereka tak jauh dari areal pertokoan tersebut. Lalu, mereka akan kembali lagi ke toko-toko atau perkantoran untuk mengambil barang-barang apa saja yang masih ada dan tersisa, sebelum didahului atau dihabiskan orang lain. Toko-toko dan perkantoran di pinggir jalan besar itu semuanya kini menjadi milik siapa saja, bebas dimasuki, dijarah, dan juga dibakar!
Keributan suara-suara meneriakkan: "Hey, Min!", "Tigor!", "Asep!", "Gus!", "Jo!", "Bur!", "Ke sini!", "Bawa sekalian!", "Simpan di belakang kios!", "TV, TV!", "Kulkas", "Bir, bir!", "Wah, BH, celana dalam, sambal, kecap!", "Taruh, taruh langsung di kamar!", "Yang di plastik di dapur, yang di kardus di kamar!", "Jangan salah tempat!", "Hati-hati!", "Jangan diambil orang!", "Ingat, harus segera ke rumah!", "Langsung kasikan ibu!", dan lain-lain, tumpang-tindih di sekitar, berlomba menyerbu pendengaran dan penglihatan Tio. Sementara anak itu menghabiskan coklatnya dengan tergesa, mulutnya belepotan coklat, sementara sepasang matanya secara samar mengawasi Tio, seraya ia kini mengeluarkan permen dari saku celana. Sedangkan suara-suara masih membahana, saling tindih, dan kali ini lebih bergelombang ke sebelah kiri mulut gang dan di seberang jalan.
Suara-suara yang memekakkan Tio, di tengah kesendirian perasaan yang semakin menyesaki benaknya, di antara bayang-bayang pengalaman sebelumnya yang kembali membentang. Ia sedang dalam perjalanan menuju kampusnya di wilayah barat kota, ketika demonstrasi dan kekacauan semakin marak di jalan yang mereka lalui. Tio terpaksa turun dari bus kota yang ditumpanginya, karena sesuai permintaan sebagian besar penumpang yang umumnya orang kantoran, bus kota itu membatalkan perjalanan dan kembali ke terminal pemberangkatan mereka sejam yang lalu. Hidup sebagai penonton, yang sepatutnya tidak dirugikan, barangkali sangat penting bagi orang-orang kantoran itu. Mereka harus melindungi anak dan istri yang ditinggalkan di rumah, atau menyelamatkan hidup mapan mereka dengan menghindarkan kemungkinan bencana apa pun yang kelihatannya bisa menyerang, dari membesarnya huru-hara yang menimpa kota itu!
Sebenarnya, beberapa penumpang sebelumnya telah turun dan pindah ke bus-bus lain yang sudah memutar sejak awal, dan beberapa penumpang terbirit-birit menyewa ojek yang tiba-tiba ramai berkeliaran mengepung bus. Sementara Tio enggan menyelamatkan diri, karena merasa tidak layak setakut mereka. Sebab, ia "terlibat" sebagai pelaku atau bagian dari demonstrasi dan kerusuhan di luar bus kota itu. Mengikuti gelombang perlawanan mahasiswa kepada rezim pemerintahan korup selama berminggu-minggu, mereka telah melakukan demonstrasi gabungan dengan kampus-kampus lain yang lebih besar dan terkenal di seluruh negeri. Dan, puncaknya, dalam suasana perkabungan, kemarin mereka mengantarkan lima orang mahasiswa ke pemakaman karena tertembak bersama rekan-rekan lainnya di dekat kampus mereka sehari sebelumnya.
Tapi, pagi itu, rasa getir dan sinis kepada diri sendiri pun menggigit-gigit kesadaran Tio ketika ditinggalkan sendirian oleh orang-orang kantoran yang ketakutan meneruskan perjalanan. Tio tiba-tiba merasa memang tidak memiliki kehidupan berharga yang harus diselamatkan dari kekacauan itu. Ia hanyalah seorang mahasiswa yang tidak memiliki keperluan penting, datang ke pusat kota; kecuali berkumpul dengan teman-teman sekampus "mendengarkan" lanjutan rencana demonstrasi gabungan seluruh kampus kota mereka. Ia hanyalah seorang mahasiswa "pengikut" dengan kecerdasan terbatas, di sebuah perguruan tinggi swasta yang tidak terkenal.
"Jangan sembunyi di sini!" Anak itu akhirnya menegur bimbang, ketika menyadari Tio yang jangkung itu masih bertahan dan bengong.
Tio mengitarkan pandang. Mereka "ternyata" berada di belakang sebuah kios, dan ia melihat berbagai bungkusan dan buntalan-buntalan barang di samping kakinya. Tio membungkuk dan meraba sebuah buntalan. Tio menarik sebuah benda dingin dan keras dari mulut buntalan; sebuah walkman menyembul. Dengan wajah khawatir, anak itu merebut walkman dari pegangan Tio dan memasukkannya ke dalam buntalan.
Tio merunduk. Matahari siang menyorot tajam. Tak jauh dari kios itu, di jalan besar, menggunduk timbunan sampah yang kelihatannya dibiarkan menumpuk dari hari ke hari. Bau sengitnya menyebar tapi orang-orang tak perduli dan kelihatan tidak terganggu. Mereka terus berseliweran di jalan besar membawa barang-barang dengan buntalan-buntalan penuh, kardus-kardus rapi, tas plastik dijejali barang, keluar masuk gang di sini dan di sana, memanggil-manggil, berteriak-teriak, simpang-siur di antara suara-suara "tembakan" yang sesekali terdengar menyela gemuruh siang.
Lalu, seorang lelaki berusia empat puluhan, mengenakan berlapis-lapis baju baru dan sebuah jaket kulit hitam, memundak buntalan besar dengan wajah berkeringat menghampiri persembunyian Tio dan si anak di belakang kios itu. Lelaki itu terkejut menemukan Tio, dan tampak kurang senang karena anak itu membiarkan seorang asing berada di dekat barang-barang mereka. Lelaki itu menaruh buntalan di samping bungkusan lainnya. "Siapa kamu? Mau apa di sini?" tanyanya mengancam ke arah Tio.
Lelaki itu kemudian mengeluarkan rokok luar negeri dari saku jaket kulitnya yang tebal dan baru, mengeluarkan mancis keemasan dari saku celana jinsnya yang baru, dan seperti sengaja memamerkan arlojinya, kalung emasnya, sepatu kulitnya, berdiri tegak menyalakan rokok, mengisapnya, menghembuskan asapnya ke arah Tio.
"Saya...saya..."
"Takut terkena peluru nyasar, ya?"
"Saya mau pulang, kalau sudah aman."
"Tapi kenapa berhenti di sini?"
"Sepedanya mana, Yah?" anak itu menyela.
"Sepedanya mudah-mudahan ayah kebagian!" kata lelaki itu seraya matanya tetap ke arah Tio.
"Om dapat mempercayai saya. Saya akan menjaga barang-barang Om. Tadi saya mau ke kampus ketika bus yang saya tumpangi membatalkan perjalanan. Seandainya tadi malam saya tidak pulang ke rumah, tidur di kampus seperti yang lain, pasti sekarang saya tidak di sini, mungkin berdemonstrasi bersama teman-teman ke istana!"
"Oh, begitu?" Lelaki itu kembali menghembuskan asap rokok ke wajah Tio. Lalu seperti teringat sesuatu, ia mengeluarkan selampe baru dari saku celananya, kemudian melap keringat di keningnya, dan kembali memandang Tio yang mengenakan kaus, jins, dan sepatu kets yang sudah kucel.
"Percayalah, saya akan menjaga barang-barang Om bersama anak Om," ulang Tio
"Ya sudah. Kalian tunggu di sini!" Lelaki empat puluhan itu lagi-lagi menatap tajam ke arah Tio, mengantungi selampe, segera mengambil beberapa arloji mahal dari sebuah buntalan, beberapa bungkus rokok luar negeri dari sebuah kardus besar, menjejalkan semuanya ke saku celana, baju dan jaketnya dengan terburu-buru, lalu mengisyaratkan kedipan mata "hati-hati" ke arah anaknya, baru kemudian menghilang di antara orang ramai.
Sepeninggal lelaki itu, Tio sesaat tersinggung oleh kedipan mata itu, dan sempat dihinggapi keinginan culas untuk mengambil beberapa walkman dan arloji, lalu berlari meninggalkan tempat itu, menerobos keramaian, mencari-cari kendaraan umum yang rutenya ke arah rumahnya di pinggir kota. Tapi lamat-lamat telinganya masih mendengar suara tembakan demi tembakan di antara hiruk-pikuk itu. Membuatnya kembali merisaukan keselamatannya di antara tiang-tiang asap kebakaran yang menghitam, membubung, meliuk, di sini, di sana, di kejauhan --seakan mengabarkan bencana ke ketinggian awan putih di atas sana-- sekaligus mengotori cakrawala bening kota besar, yang dulu terkenal ramah itu.
Lalu, suara tembakan demi tembakan meletus nyaring, tak jauh dari mulut gang. Orang-orang buyar ke kiri dan ke kanan, berteriak-teriak panik menggondol erat buntalan dan bungkusan di tangan dan di pundak. Dan tembakan meletus lagi, meletus lagi, kali ini berturut-turut, semakin nyaring, semakin memekakkan pendengaran Tio. Orang-orang berteriak-teriak kalap, orang-orang simpang-siur menyelamatkan diri. Saling menabrak dan mendorong, ingin melarikan diri atau bersembunyi. Yang limbung terjepit, terseret, yang jatuh tertindih, terinjak. "Aduh, aduh, aduukhh!" jeritan anak itu mengoyak pendengaran Tio, dan ia menampak anak itu memuntahkan permen dari mulutnya dan kaca mata hitamnya terlontar dari kepala.
Sesaat anak itu seakan lunglai kehilangan tenaga, tapi secara aneh dan berkekuatan besar, terhempas ke tubuh Tio. Sebuah hentakan berat menghantam Tio. Kepala anak itu membentur perutnya. Keduanya kemudian terlontar ke atas tumpukan kardus, buntalan dan bungkusan. Beberapa buntalan dan bungkusan yang tidak terikat kencang, terbuka, dan isinya berupa walkman, arloji, gulungan kain, baterai, gunting, coklat, pisau cukur, minyak wangi, kecap, sambal, detergen, dan barang lainnya berserakan. Tio merasakan punggungnya sakit, menindih berbagai botol dan barang-barang keras terbungkus kardus, dengan tubuh anak itu membebaninya.
Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Tio pun melihat wajah seorang anak seusia adiknya, namun begitu asing baginya --sesaat begitu dekat-- lalu menjauh dan terkulai di samping tubuhnya. Lalu, ketika ia menarik tangannya dari tindihan tubuh anak itu, untuk pertama kalinya pula ia melihat darah manusia begitu kental, memerah hangat di telapak tangannya, membercak membasahi kausnya, dan membercak bundar merah tua, memenuhi bagian dada kaus anak itu.
Darah. Darah merah berceceran. Anak itu tertembak. Anak itu tergeletak. Peluru nyasar menjarahnya. Sementara ayah anak itu entah ke mana. Anak itu mendesis ketakutan dan mengerang kesakitan. Mulut anak itu kini penuh darah, darah. Tatapannya nanar ke arah Tio yang sedang bangkit, dan menoleh gelisah ke arah barang-barang jagaannya yang kini berserakan. Anak itu mengangkat tangan kanannya yang lunglai, diberati empat arloji; entah kapan ia menambahinya. Anak itu berusaha menggapai sebungkus coklat, tapi Tio tak dapat lagi menatap berlama-lama.
Tio sudah berdiri gelisah. Hiruk-pikuk manusia di sekitar semakin ramai dan sebagian kini berkerumun menghampiri. Wajah-wajah asing penuh keringat memandang kalap dan ingin tahu, berganti-ganti dengan bayang-bayang wajah ibunya, adik-adiknya, temannya sekampus, tetangganya, anak itu, ayah anak itu, orang-orang berebutan barang, rokok luar negeri, sepatu kulit, jaket hitam, mancis baru, walkman, arloji, gulungan kain, kaca mata hitam, permen, coklat, botol kecap, bir, sirup, bumbu masak, bus kota yang kabur menghindari penumpang, orang-orang berlarian, suara-suara tembakan --semuanya berdenyar dan mengabur di depan, di samping, di belakang-- berupa cahaya menyala-nyala, sinar menyambar-nyambar, dan suara hingar-bingar menggelapi dan menggedori kesadaran Tio.
Orang-orang masih berkelebat-kelebat, sementara Tio kemudian memaksakan diri untuk berlari, berlari, terus berlari ke arah tepi keriuhan dan keramaian di sekitar. Tapi tepi keramaian dan keriuhan itu tak juga tampak. Ia masih saja terhadang oleh keramaian dan keriuhan, orang-orang berseliweran, suara-suara tembakan, teriakan-teriakan kalap, dan bau asap, bau asap, bau daging terbakar, bau daging terbakar. Dan langkahnya kemudian semakin berat dan melambat, berat dan melambat, meskipun ia telah berlari menggunakan segenap kemauan dan tenaganya.
Tak tahan lagi, tubuhnya kini limbung dikuyupi keringat dan darah, wajahnya kotor disaput debu tengah hari, dan perasaannya rusuh dilanda cemas mengerikan, ketika rasa perih akibat luka menganga di bagian perutnya --semakin nyata dan menyakitkan. Di masa depan, bila ia masih dapat mengulang-ulang peristiwa nahas pada siang mengesalkan itu, sungguh tak ada tempat terjauh baginya saat itu, kecuali rumah!***
Di masa depan, Tio akan mengulang-ulang terus pengalaman masa lalu seperti pada tengah hari yang nahas itu. Setelah gagal mendapatkan angkutan umum yang akan membawanya pulang ke rumah, ia terdampar di sebuah mulut gang di pusat pertokoan dan perkantoran. Seorang anak lelaki dengan kaca mata hitam ditegakkan di kepala, menghampiri dengan tatapan curiga. Si anak mengenakan rompi kulit berwarna coklat longgar, membungkus belakang tubuhnya sampai ke pantat; kaus kuning melebihi ukuran badan sampai ke lutut; celana jins kepanjangan, hingga bagian kakinya digulung berkali-kali; dan sepatu kets putih yang juga kebesaran, hingga ia menyeret kedua kakinya agar sepatu itu tidak terlepas.
Anak itu, dengan dua arloji di tangan kanan dan dua arloji di tangan kiri, mengeluarkan sebungkus coklat besar dari kantung rompi, merobek bungkusnya, lalu mengunyah dengan lahap, seraya menoleh ke arah keramaian yang bergemuruh di jalan besar pertokoan dan perkantoran yang tak jauh dari mulut gang itu.
Huru-hara masih berlangsung. Orang-orang bergerombol berteriak-teriak riuh dan menyerbu kalap, membuka paksa pintu-pintu dorong dan jeruji toko-toko dengan tangan, linggis, dan berbagai peralatan yang terjangkau dan dipungut sekenanya di jalan atau sengaja dibawa dari rumah. Lalu, setelah toko-toko yang ditinggalkan para penghuninya dengan ketakutan itu terbuka menganga tanpa tuan, para penyerbu saling berebutan menjarah berbagai barang yang terhampar atau teronggok di hadapan, menyeretnya menjauh, mengangkatnya dengan kedua tangan, mengusungnya di pundak, langsung memasukkan ke dalam kantung plastik atau buntalan kain, membopongnya meninggalkan toko dengan tergesa, serabutan, namun bersiaga terhadap kemungkinan perampasan oleh yang lain; lalu berlari-lari, meliuk-liuk mengamankan barang-barang itu, di antara orang-orang berseliweran dengan keperluan serupa.
Maka, bergulung-gulung karpet, pakaian, benang; berkardus-kardus sepatu, rokok, kosmetik, minyak wangi, kalkulator, radio, taperecorder, kaset, CD, termos; berbuntal-buntal arloji, topi, buku, blangkon, tas; berbungkus-bungkus bumbu masak, keripik udang, permen, coklat, keju, kue bolu, beras, kopi, gula, mie instan, roti kaleng, kecap, sirup, panci; simpang-siur dalam bawaan orang-orang yang dengan sigap ingin cepat-cepat menyembunyikan di pangkalan sementara, atau langsung menuju rumah bila rumah mereka tak jauh dari areal pertokoan tersebut. Lalu, mereka akan kembali lagi ke toko-toko atau perkantoran untuk mengambil barang-barang apa saja yang masih ada dan tersisa, sebelum didahului atau dihabiskan orang lain. Toko-toko dan perkantoran di pinggir jalan besar itu semuanya kini menjadi milik siapa saja, bebas dimasuki, dijarah, dan juga dibakar!
Keributan suara-suara meneriakkan: "Hey, Min!", "Tigor!", "Asep!", "Gus!", "Jo!", "Bur!", "Ke sini!", "Bawa sekalian!", "Simpan di belakang kios!", "TV, TV!", "Kulkas", "Bir, bir!", "Wah, BH, celana dalam, sambal, kecap!", "Taruh, taruh langsung di kamar!", "Yang di plastik di dapur, yang di kardus di kamar!", "Jangan salah tempat!", "Hati-hati!", "Jangan diambil orang!", "Ingat, harus segera ke rumah!", "Langsung kasikan ibu!", dan lain-lain, tumpang-tindih di sekitar, berlomba menyerbu pendengaran dan penglihatan Tio. Sementara anak itu menghabiskan coklatnya dengan tergesa, mulutnya belepotan coklat, sementara sepasang matanya secara samar mengawasi Tio, seraya ia kini mengeluarkan permen dari saku celana. Sedangkan suara-suara masih membahana, saling tindih, dan kali ini lebih bergelombang ke sebelah kiri mulut gang dan di seberang jalan.
Suara-suara yang memekakkan Tio, di tengah kesendirian perasaan yang semakin menyesaki benaknya, di antara bayang-bayang pengalaman sebelumnya yang kembali membentang. Ia sedang dalam perjalanan menuju kampusnya di wilayah barat kota, ketika demonstrasi dan kekacauan semakin marak di jalan yang mereka lalui. Tio terpaksa turun dari bus kota yang ditumpanginya, karena sesuai permintaan sebagian besar penumpang yang umumnya orang kantoran, bus kota itu membatalkan perjalanan dan kembali ke terminal pemberangkatan mereka sejam yang lalu. Hidup sebagai penonton, yang sepatutnya tidak dirugikan, barangkali sangat penting bagi orang-orang kantoran itu. Mereka harus melindungi anak dan istri yang ditinggalkan di rumah, atau menyelamatkan hidup mapan mereka dengan menghindarkan kemungkinan bencana apa pun yang kelihatannya bisa menyerang, dari membesarnya huru-hara yang menimpa kota itu!
Sebenarnya, beberapa penumpang sebelumnya telah turun dan pindah ke bus-bus lain yang sudah memutar sejak awal, dan beberapa penumpang terbirit-birit menyewa ojek yang tiba-tiba ramai berkeliaran mengepung bus. Sementara Tio enggan menyelamatkan diri, karena merasa tidak layak setakut mereka. Sebab, ia "terlibat" sebagai pelaku atau bagian dari demonstrasi dan kerusuhan di luar bus kota itu. Mengikuti gelombang perlawanan mahasiswa kepada rezim pemerintahan korup selama berminggu-minggu, mereka telah melakukan demonstrasi gabungan dengan kampus-kampus lain yang lebih besar dan terkenal di seluruh negeri. Dan, puncaknya, dalam suasana perkabungan, kemarin mereka mengantarkan lima orang mahasiswa ke pemakaman karena tertembak bersama rekan-rekan lainnya di dekat kampus mereka sehari sebelumnya.
Tapi, pagi itu, rasa getir dan sinis kepada diri sendiri pun menggigit-gigit kesadaran Tio ketika ditinggalkan sendirian oleh orang-orang kantoran yang ketakutan meneruskan perjalanan. Tio tiba-tiba merasa memang tidak memiliki kehidupan berharga yang harus diselamatkan dari kekacauan itu. Ia hanyalah seorang mahasiswa yang tidak memiliki keperluan penting, datang ke pusat kota; kecuali berkumpul dengan teman-teman sekampus "mendengarkan" lanjutan rencana demonstrasi gabungan seluruh kampus kota mereka. Ia hanyalah seorang mahasiswa "pengikut" dengan kecerdasan terbatas, di sebuah perguruan tinggi swasta yang tidak terkenal.
"Jangan sembunyi di sini!" Anak itu akhirnya menegur bimbang, ketika menyadari Tio yang jangkung itu masih bertahan dan bengong.
Tio mengitarkan pandang. Mereka "ternyata" berada di belakang sebuah kios, dan ia melihat berbagai bungkusan dan buntalan-buntalan barang di samping kakinya. Tio membungkuk dan meraba sebuah buntalan. Tio menarik sebuah benda dingin dan keras dari mulut buntalan; sebuah walkman menyembul. Dengan wajah khawatir, anak itu merebut walkman dari pegangan Tio dan memasukkannya ke dalam buntalan.
Tio merunduk. Matahari siang menyorot tajam. Tak jauh dari kios itu, di jalan besar, menggunduk timbunan sampah yang kelihatannya dibiarkan menumpuk dari hari ke hari. Bau sengitnya menyebar tapi orang-orang tak perduli dan kelihatan tidak terganggu. Mereka terus berseliweran di jalan besar membawa barang-barang dengan buntalan-buntalan penuh, kardus-kardus rapi, tas plastik dijejali barang, keluar masuk gang di sini dan di sana, memanggil-manggil, berteriak-teriak, simpang-siur di antara suara-suara "tembakan" yang sesekali terdengar menyela gemuruh siang.
Lalu, seorang lelaki berusia empat puluhan, mengenakan berlapis-lapis baju baru dan sebuah jaket kulit hitam, memundak buntalan besar dengan wajah berkeringat menghampiri persembunyian Tio dan si anak di belakang kios itu. Lelaki itu terkejut menemukan Tio, dan tampak kurang senang karena anak itu membiarkan seorang asing berada di dekat barang-barang mereka. Lelaki itu menaruh buntalan di samping bungkusan lainnya. "Siapa kamu? Mau apa di sini?" tanyanya mengancam ke arah Tio.
Lelaki itu kemudian mengeluarkan rokok luar negeri dari saku jaket kulitnya yang tebal dan baru, mengeluarkan mancis keemasan dari saku celana jinsnya yang baru, dan seperti sengaja memamerkan arlojinya, kalung emasnya, sepatu kulitnya, berdiri tegak menyalakan rokok, mengisapnya, menghembuskan asapnya ke arah Tio.
"Saya...saya..."
"Takut terkena peluru nyasar, ya?"
"Saya mau pulang, kalau sudah aman."
"Tapi kenapa berhenti di sini?"
"Sepedanya mana, Yah?" anak itu menyela.
"Sepedanya mudah-mudahan ayah kebagian!" kata lelaki itu seraya matanya tetap ke arah Tio.
"Om dapat mempercayai saya. Saya akan menjaga barang-barang Om. Tadi saya mau ke kampus ketika bus yang saya tumpangi membatalkan perjalanan. Seandainya tadi malam saya tidak pulang ke rumah, tidur di kampus seperti yang lain, pasti sekarang saya tidak di sini, mungkin berdemonstrasi bersama teman-teman ke istana!"
"Oh, begitu?" Lelaki itu kembali menghembuskan asap rokok ke wajah Tio. Lalu seperti teringat sesuatu, ia mengeluarkan selampe baru dari saku celananya, kemudian melap keringat di keningnya, dan kembali memandang Tio yang mengenakan kaus, jins, dan sepatu kets yang sudah kucel.
"Percayalah, saya akan menjaga barang-barang Om bersama anak Om," ulang Tio
"Ya sudah. Kalian tunggu di sini!" Lelaki empat puluhan itu lagi-lagi menatap tajam ke arah Tio, mengantungi selampe, segera mengambil beberapa arloji mahal dari sebuah buntalan, beberapa bungkus rokok luar negeri dari sebuah kardus besar, menjejalkan semuanya ke saku celana, baju dan jaketnya dengan terburu-buru, lalu mengisyaratkan kedipan mata "hati-hati" ke arah anaknya, baru kemudian menghilang di antara orang ramai.
Sepeninggal lelaki itu, Tio sesaat tersinggung oleh kedipan mata itu, dan sempat dihinggapi keinginan culas untuk mengambil beberapa walkman dan arloji, lalu berlari meninggalkan tempat itu, menerobos keramaian, mencari-cari kendaraan umum yang rutenya ke arah rumahnya di pinggir kota. Tapi lamat-lamat telinganya masih mendengar suara tembakan demi tembakan di antara hiruk-pikuk itu. Membuatnya kembali merisaukan keselamatannya di antara tiang-tiang asap kebakaran yang menghitam, membubung, meliuk, di sini, di sana, di kejauhan --seakan mengabarkan bencana ke ketinggian awan putih di atas sana-- sekaligus mengotori cakrawala bening kota besar, yang dulu terkenal ramah itu.
Lalu, suara tembakan demi tembakan meletus nyaring, tak jauh dari mulut gang. Orang-orang buyar ke kiri dan ke kanan, berteriak-teriak panik menggondol erat buntalan dan bungkusan di tangan dan di pundak. Dan tembakan meletus lagi, meletus lagi, kali ini berturut-turut, semakin nyaring, semakin memekakkan pendengaran Tio. Orang-orang berteriak-teriak kalap, orang-orang simpang-siur menyelamatkan diri. Saling menabrak dan mendorong, ingin melarikan diri atau bersembunyi. Yang limbung terjepit, terseret, yang jatuh tertindih, terinjak. "Aduh, aduh, aduukhh!" jeritan anak itu mengoyak pendengaran Tio, dan ia menampak anak itu memuntahkan permen dari mulutnya dan kaca mata hitamnya terlontar dari kepala.
Sesaat anak itu seakan lunglai kehilangan tenaga, tapi secara aneh dan berkekuatan besar, terhempas ke tubuh Tio. Sebuah hentakan berat menghantam Tio. Kepala anak itu membentur perutnya. Keduanya kemudian terlontar ke atas tumpukan kardus, buntalan dan bungkusan. Beberapa buntalan dan bungkusan yang tidak terikat kencang, terbuka, dan isinya berupa walkman, arloji, gulungan kain, baterai, gunting, coklat, pisau cukur, minyak wangi, kecap, sambal, detergen, dan barang lainnya berserakan. Tio merasakan punggungnya sakit, menindih berbagai botol dan barang-barang keras terbungkus kardus, dengan tubuh anak itu membebaninya.
Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Tio pun melihat wajah seorang anak seusia adiknya, namun begitu asing baginya --sesaat begitu dekat-- lalu menjauh dan terkulai di samping tubuhnya. Lalu, ketika ia menarik tangannya dari tindihan tubuh anak itu, untuk pertama kalinya pula ia melihat darah manusia begitu kental, memerah hangat di telapak tangannya, membercak membasahi kausnya, dan membercak bundar merah tua, memenuhi bagian dada kaus anak itu.
Darah. Darah merah berceceran. Anak itu tertembak. Anak itu tergeletak. Peluru nyasar menjarahnya. Sementara ayah anak itu entah ke mana. Anak itu mendesis ketakutan dan mengerang kesakitan. Mulut anak itu kini penuh darah, darah. Tatapannya nanar ke arah Tio yang sedang bangkit, dan menoleh gelisah ke arah barang-barang jagaannya yang kini berserakan. Anak itu mengangkat tangan kanannya yang lunglai, diberati empat arloji; entah kapan ia menambahinya. Anak itu berusaha menggapai sebungkus coklat, tapi Tio tak dapat lagi menatap berlama-lama.
Tio sudah berdiri gelisah. Hiruk-pikuk manusia di sekitar semakin ramai dan sebagian kini berkerumun menghampiri. Wajah-wajah asing penuh keringat memandang kalap dan ingin tahu, berganti-ganti dengan bayang-bayang wajah ibunya, adik-adiknya, temannya sekampus, tetangganya, anak itu, ayah anak itu, orang-orang berebutan barang, rokok luar negeri, sepatu kulit, jaket hitam, mancis baru, walkman, arloji, gulungan kain, kaca mata hitam, permen, coklat, botol kecap, bir, sirup, bumbu masak, bus kota yang kabur menghindari penumpang, orang-orang berlarian, suara-suara tembakan --semuanya berdenyar dan mengabur di depan, di samping, di belakang-- berupa cahaya menyala-nyala, sinar menyambar-nyambar, dan suara hingar-bingar menggelapi dan menggedori kesadaran Tio.
Orang-orang masih berkelebat-kelebat, sementara Tio kemudian memaksakan diri untuk berlari, berlari, terus berlari ke arah tepi keriuhan dan keramaian di sekitar. Tapi tepi keramaian dan keriuhan itu tak juga tampak. Ia masih saja terhadang oleh keramaian dan keriuhan, orang-orang berseliweran, suara-suara tembakan, teriakan-teriakan kalap, dan bau asap, bau asap, bau daging terbakar, bau daging terbakar. Dan langkahnya kemudian semakin berat dan melambat, berat dan melambat, meskipun ia telah berlari menggunakan segenap kemauan dan tenaganya.
Tak tahan lagi, tubuhnya kini limbung dikuyupi keringat dan darah, wajahnya kotor disaput debu tengah hari, dan perasaannya rusuh dilanda cemas mengerikan, ketika rasa perih akibat luka menganga di bagian perutnya --semakin nyata dan menyakitkan. Di masa depan, bila ia masih dapat mengulang-ulang peristiwa nahas pada siang mengesalkan itu, sungguh tak ada tempat terjauh baginya saat itu, kecuali rumah!***
0 comments:
Post a Comment