Cerpen Tarti Khusnul Khotimah
Malam, lewat pukul sembilan. Di kamar, Zahra dan suaminya, Ali, baru saja selesai menidurkan kedua anak mereka --Hasan, lima tahun, dan Laila, dua setengah tahun.
"Ayah, sudah 30 hari lebih kok belum nongol-nongol juga ya… bulannya? Padahal, biasanya hanya selang 27 atau 28 hari. Apakah…?" sambil menerawang, Zahra tak meneruskan kalimatnya.
Hening. Diliriknya suaminya yang berbaring di sampingnya. Tak bereaksi --seperti biasanya, tenang-- entah sedang mencari-cari kata jawaban yang pas atau memang menurutnya tak perlu berkomentar.
Kesunyian menguasai mereka berdua, semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya, tak lama kemudian Ali beringsut dan dengan penuh kasih sayang dikecupnya kening Zahra dan dielus-elusnya perut istrinya yang sangat dicintainya itu.
"Kurasa tidak adil...," keluh Zahra, memecah kesunyian, "mengapa kehadiran apa pun, jika ia bukan yang pertama, dianggap tidak istimewa dan biasa-biasa saja? Mengapa ia tak disambut sebagaimana mestinya?" lanjutnya setengah sewot.
Lagi-lagi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut suaminya. Tak jelas apa yang sedang berkecamuk di hati suaminya itu.
Entah mengapa, Zahra akhir-akhir ini sering memendam perasaan khawatir akan masa depan yang harus dilaluinya. Hingga kini, mereka yang telah dikaruniai dua anak itu, masih menumpang hidup di rumah orang tua Ali. Padahal orang tua Ali sendiri masih harus menanggung beban lima anak yang lain --adik-adik Ali-- yang kesemuanya masih membutuhkan biaya kuliah atau sekolah.
Sekitar enam tahun yang lalu Zahra dan Ali menikah. Waktu itu mereka berdua masih sama-sama kuliah tingkat akhir, tinggal skripsi. Sebenarnya Zahra ingin menyelesaikan dulu kuliahnya yang hampir terbengkelai untuk kemudian bekerja dan baru akan menikah. Tetapi, rupanya sang calon suami berkehendak lain. Ali inginnya segera cepat menikah.
"Kita saling mencintai. Usia kita juga sudah matang, 25 tahun. Apa lagi? Penghasilan…? Sedikit-sedikit dari hasil nulis di koran juga sudah lumayan. Anugerah Tuhan tidak boleh disia-siakan," begitu kilah Ali.
Ali memang tipe orang yang sangat optimistis menghadapi masa depan, meski terkadang terasa kurang rasional, menurut Zahra. Dengan modal semangat idealistik, layaknya seorang pejuang, ia berhasil membujuk dan meyakinkan kedua orang tuanya untuk meminang Zahra, kekasihnya. Akan halnya Zahra, yang semula bersikeras tidak akan menikah sebelum bekerja, akhirnya luluh juga. Zahra tak kuasa menolak tali kasih cinta Ali yang hendak diwujudkan ke dalam bentuk pernikahan suci.
"Apa kata ibu nanti... ?" kembali desah Zahra. Nadanya terdengar pesimis. Ia sudah membayangkan bagaimana reaksi ibu mertuanya. Wajah dan kata-katanya tentu sangat tidak mengenakkan hati.
Terbayang kembali di hadapan Zahra bagaimana kejadian tiga setengah tahun yang lalu, saat ia hamil yang kedua kalinya. Belum sempat ia memberitahu ibu mertuanya tentang kehamilannya ini, beliau telah terlebih dahulu menegur mengapa anaknya yang pertama keburu disapih padahal belum genap umur dua tahun. Ia pun mengatakan keadaan yang sesungguhnya. Tidak disangka, ibu mertuanya menyesalkan terjadinya kehamilan itu. Dikatakannya bahwa mereka sembrono, tidak hati-hati.
"Bikin anak itu enak, gampang. Tapi ngurusnya yang susah. Apalagi ini… kamu… anak yang pertama saja masih kecil, baru satu setengah tahun. Ngurus satu saja masih kewalahan...," cerocos ibu mertuanya mengingatkan, walau sebenarnya sia-sia saja karena semuanya telah terlanjur.
"Kalian sudah dewasa…sekolah kalian tinggi... Sekarang zaman sudah maju, peralatan sudah lengkap, tinggal pilih... Mengapa kalian tidak bisa merencanakan dengan baik jarak kelahiran anak kalian?" gerutu ibu mertuanya lagi, masih menyesali keadaan.
Zahra mencoba membela diri. Dia menjelaskan kepada ibu mertuanya bahwa dia memilih tidak memakai alat kontrasepsi lebih disebabkan oleh keinginannya untuk tidak menyalahi kodrat Ilahi. Selain itu, ada kecenderungan pada diri Zahra untuk membayangkan hal-hal buruk akibat efek samping dari pemakaian alat kontrasepsi sebagaimana yang ia dengar dari beberapa pengalaman orang-orang yang pernah memakainya. Suaminya juga membebaskannya dalam mengambil keputusan. Maka, Zahra pun memilih jalan yang dipandangnya paling aman: memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Bila dikehendaki untuk hamil akan diterima dengan senang hati, bila tidak itu berarti belum waktunya.
Namun, sang ibu rupanya tidak bisa memahami jalan pikirannya. Zahra menjadi resah dan gelisah. Perasaan itu begitu menekan di dalam dada. Kegelisahan oleh keinginan untuk terbebas dari bayang-bayang ibu mertuanya. Kegelisahan menghadapi masa depan yang belum jelas. Kegelisahan menghadapi kecemasan-kecemasan.
"Kalau...," tiba-tiba suaminya angkat bicara. Masih dengan nada ragu-ragu, "Kalau digugurkan saja... bagaimana...? Ini kan baru berumur... kurang lebih satu bulan...?"
Tersentak Zahra mendengarnya. Ditatap lekat-lekat wajah suaminya. Sungguh suatu hal yang sulit dipercaya. Tidak disangkanya gagasan seperti itu terucap dari mulut suaminya sendiri. Zahra tahu persis Ali adalah orang yang mengerti agama.
"Tidak! Seumur hidup takkan pernah kumaafkan diriku sendiri jika hal itu dilakukan. Apa pun yang terjadi…jika Tuhan memang menghendaki, maka janin ini akan tetap kupertahankan!" tegas Zahra penuh emosional. Bergidik ia tak sanggup membayangkan bagaimana janin yang terlindung aman di dalam rahimnya diambil paksa oleh tangan-tangan jahil dan tak berperasaan. Belum lagi rasa sakit yang harus ditanggungnya, juga rasa berdosa yang akan terus menderanya. Bahkan tidak hanya itu, nyawanya pun akan turut pula dipertaruhkan.
Perdebatan tidak berlanjut. Baik Ali maupun Zahra sama-sama memilih diam.
Lama mereka mendiamkan soal itu. Kira-kira sebulan sesudah perdebatan malam itu, tiba-tiba Ali menawari istrinya untuk berjalan-jalan sekeluarga. Kepada kedua anaknya dia berjanji akan membelikan mainan.
"Bagaimana Bu... nanti sore bisakah?" Ali meminta persetujuan istrinya.
"Jangan bicara sembarangan, Yah, nanti kalau anak-anak merengek betul gimana? Untuk membeli susu saja kadang nggak kesampaian, eh… kok malah menjanjikan membeli mainan?" Zahra mengingatkan, menyangsikan ajakan suaminya.
Namun, dengan wajah cerah dan tersenyum lebar Ali menunjukkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada istrinya. "Kalau tidak mau... ya, sudah...," dengan entengnya Ali berkata seraya menggoda.
Dan acara jalan-jalan pun menjadi kenyataan. Bahkan sejak itu menjadi kebiasaan. Rezeki sepertinya selalu datang setiap diundang. Susu untuk anak-anak tak pernah kehabisan. Bermacam-macam mainan selalu dapat Ali belikan. Belanja kebutuhan untuk Zahra juga tak ketinggalan. Susu khusus untuk ibu hamil selalu terbeli. Segala perlengkapan bayi sudah dapat dipersiapkan jauh-jauh hari. Sang suami tampak bangga dan bahagia melihat anak dan istrinya sehat dan gembira penuh suka cita.
Terbersit juga rasa penasaran dalam pikiran Zahra, dari mana Ali beroleh rezeki yang sepertinya selalu datang mengalir itu? Sempat diputuskannya untuk bertanya, tetapi diurungkan kembali niatnya, khawatir akan menyinggung perasaan suaminya.
Akhirnya, Zahra tidak terlalu banyak bertanya karena ia tetap yakin bahwa rezeki yang Ali dapatkan adalah halal jua. Siapa tahu Ali memang sedang beroleh order khusus yang berkaitan dengan profesinya sebagai penulis. Itu saja yang bisa Zahra tebak.
Atau, barangkali inikah hikmah dari kehamilan? Puji syukur dalam hati Zahra. Benarlah kiranya bahwa anak membawa rezeki masing-masing.
Roda waktu seakan diputar dengan cepat. Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berganti. Tak terasa bayi dalam kandungan Zahra sudah genap usia, sembilan bulan. Dengan hati gembira disambutnya hari-hari menjelang kelahiran anaknya yang ketiga. Hari-hari yang dinanti penuh debar kebahagiaan.
Tepat dua per tiga malam Zahra terbangun. Rupanya anak yang ada di dalam kandungannya sudah meronta ingin segera melihat dunia.
"Ayah…Yah...," dengan hati-hati Zahra segera membangunkan suaminya, "sepertinya sudah waktunya...," lanjut Zahra sambil merintih menahan sakit akibat konstraksi di dalam perutnya.
Tanpa banyak bertanya Ali segera mempersiapkan diri, dan mereka pun bergegas berangkat ke klinik bersalin dengan terlebih dulu pamit kepada ibu sambil berpesan agar mengurus kedua cucunya jika mereka bangun nanti.
Baru sampai setengah perjalanan, Zahra merasa keheranan, menepuk pundak Ali.
"Lho, Yah... kenapa lewat sini? Kita ke klinik Bu Aisyah, seperti biasanya, kan?" tanya Zahra, mengingatkan.
"Tidak... Kali ini kita ke klinik lain, klinik Bu Ami. Di sana lebih bagus," jelas Ali menentramkan.
"Memangnya Ayah sudah pernah ke sana…?" selidik Zahra, masih penasaran.
"Sudahlah, kita lihat saja nanti," kata Ali memutus pembicaraan, tanpa menghiraukan keheranan istrinya.
Zahra akhirnya memilih untuk diam saja, mencoba percaya pada kata-kata suaminya, walau di hatinya masih tersimpan seribu tanda tanya. Di sisi lain dia sendiri juga disibukkan oleh rasa sakit yang melilit.
Sesampai di tempat, Zahra segera dibawa masuk kamar bersalin. Persalinan dilakukan oleh seorang bidan dibantu seorang perawat. Proses persalinan berjalan lancar dan cepat.
Tidak seperti biasanya, setelah tubuhnya dibersihkan dan pindah dari kamar bersalin, bayinya tidak diperlihatkan untuk dipeluk dan diajar menyusu dalam hangatnya dekapan kasih sayang seorang ibu. Hati Zahra bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Pikirannya mulai berkecamuk. Otaknya dipengaruhi oleh prasangka-prasangka buruk.
Akhirnya, karena rasa penasaran yang tak tertahankan lagi, ia menanyakan di mana bayinya. Ali memandang istrinya sebentar, lalu menunduk. Lama mereka terdiam, sampai akhirnya Ali menjawab dengan pelan.
"Sudah... diambil yang berhak...."
Dug. Jantung Zahra berdegup kencang. Panik. Ditatapnya mata Ali dalam-dalam, mencari kebenaran. Dinantinya kata-kata Ali lebih lanjut, walau ternyata sia-sia. Akhirnya, dengan terbata dan berurai air mata, Zahra hendak menegaskan, "Maksud Ayah... meninggal...?"
Tenggorokan Ali serasa tersekat. Hatinya pedih tersayat-sayat, tak tahan menyaksikan isak tangis dan duka-lara istrinya. Dipeluknya Zahra. Menetes airmata.
Tak sampai hati ia mengatakan peristiwa yang sesungguhnya, bahwa bayi tersebut telah dia jual, bahkan sejak masih dalam kandungan istrinya! ***
Malam, lewat pukul sembilan. Di kamar, Zahra dan suaminya, Ali, baru saja selesai menidurkan kedua anak mereka --Hasan, lima tahun, dan Laila, dua setengah tahun.
"Ayah, sudah 30 hari lebih kok belum nongol-nongol juga ya… bulannya? Padahal, biasanya hanya selang 27 atau 28 hari. Apakah…?" sambil menerawang, Zahra tak meneruskan kalimatnya.
Hening. Diliriknya suaminya yang berbaring di sampingnya. Tak bereaksi --seperti biasanya, tenang-- entah sedang mencari-cari kata jawaban yang pas atau memang menurutnya tak perlu berkomentar.
Kesunyian menguasai mereka berdua, semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya, tak lama kemudian Ali beringsut dan dengan penuh kasih sayang dikecupnya kening Zahra dan dielus-elusnya perut istrinya yang sangat dicintainya itu.
"Kurasa tidak adil...," keluh Zahra, memecah kesunyian, "mengapa kehadiran apa pun, jika ia bukan yang pertama, dianggap tidak istimewa dan biasa-biasa saja? Mengapa ia tak disambut sebagaimana mestinya?" lanjutnya setengah sewot.
Lagi-lagi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut suaminya. Tak jelas apa yang sedang berkecamuk di hati suaminya itu.
Entah mengapa, Zahra akhir-akhir ini sering memendam perasaan khawatir akan masa depan yang harus dilaluinya. Hingga kini, mereka yang telah dikaruniai dua anak itu, masih menumpang hidup di rumah orang tua Ali. Padahal orang tua Ali sendiri masih harus menanggung beban lima anak yang lain --adik-adik Ali-- yang kesemuanya masih membutuhkan biaya kuliah atau sekolah.
Sekitar enam tahun yang lalu Zahra dan Ali menikah. Waktu itu mereka berdua masih sama-sama kuliah tingkat akhir, tinggal skripsi. Sebenarnya Zahra ingin menyelesaikan dulu kuliahnya yang hampir terbengkelai untuk kemudian bekerja dan baru akan menikah. Tetapi, rupanya sang calon suami berkehendak lain. Ali inginnya segera cepat menikah.
"Kita saling mencintai. Usia kita juga sudah matang, 25 tahun. Apa lagi? Penghasilan…? Sedikit-sedikit dari hasil nulis di koran juga sudah lumayan. Anugerah Tuhan tidak boleh disia-siakan," begitu kilah Ali.
Ali memang tipe orang yang sangat optimistis menghadapi masa depan, meski terkadang terasa kurang rasional, menurut Zahra. Dengan modal semangat idealistik, layaknya seorang pejuang, ia berhasil membujuk dan meyakinkan kedua orang tuanya untuk meminang Zahra, kekasihnya. Akan halnya Zahra, yang semula bersikeras tidak akan menikah sebelum bekerja, akhirnya luluh juga. Zahra tak kuasa menolak tali kasih cinta Ali yang hendak diwujudkan ke dalam bentuk pernikahan suci.
"Apa kata ibu nanti... ?" kembali desah Zahra. Nadanya terdengar pesimis. Ia sudah membayangkan bagaimana reaksi ibu mertuanya. Wajah dan kata-katanya tentu sangat tidak mengenakkan hati.
Terbayang kembali di hadapan Zahra bagaimana kejadian tiga setengah tahun yang lalu, saat ia hamil yang kedua kalinya. Belum sempat ia memberitahu ibu mertuanya tentang kehamilannya ini, beliau telah terlebih dahulu menegur mengapa anaknya yang pertama keburu disapih padahal belum genap umur dua tahun. Ia pun mengatakan keadaan yang sesungguhnya. Tidak disangka, ibu mertuanya menyesalkan terjadinya kehamilan itu. Dikatakannya bahwa mereka sembrono, tidak hati-hati.
"Bikin anak itu enak, gampang. Tapi ngurusnya yang susah. Apalagi ini… kamu… anak yang pertama saja masih kecil, baru satu setengah tahun. Ngurus satu saja masih kewalahan...," cerocos ibu mertuanya mengingatkan, walau sebenarnya sia-sia saja karena semuanya telah terlanjur.
"Kalian sudah dewasa…sekolah kalian tinggi... Sekarang zaman sudah maju, peralatan sudah lengkap, tinggal pilih... Mengapa kalian tidak bisa merencanakan dengan baik jarak kelahiran anak kalian?" gerutu ibu mertuanya lagi, masih menyesali keadaan.
Zahra mencoba membela diri. Dia menjelaskan kepada ibu mertuanya bahwa dia memilih tidak memakai alat kontrasepsi lebih disebabkan oleh keinginannya untuk tidak menyalahi kodrat Ilahi. Selain itu, ada kecenderungan pada diri Zahra untuk membayangkan hal-hal buruk akibat efek samping dari pemakaian alat kontrasepsi sebagaimana yang ia dengar dari beberapa pengalaman orang-orang yang pernah memakainya. Suaminya juga membebaskannya dalam mengambil keputusan. Maka, Zahra pun memilih jalan yang dipandangnya paling aman: memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Bila dikehendaki untuk hamil akan diterima dengan senang hati, bila tidak itu berarti belum waktunya.
Namun, sang ibu rupanya tidak bisa memahami jalan pikirannya. Zahra menjadi resah dan gelisah. Perasaan itu begitu menekan di dalam dada. Kegelisahan oleh keinginan untuk terbebas dari bayang-bayang ibu mertuanya. Kegelisahan menghadapi masa depan yang belum jelas. Kegelisahan menghadapi kecemasan-kecemasan.
"Kalau...," tiba-tiba suaminya angkat bicara. Masih dengan nada ragu-ragu, "Kalau digugurkan saja... bagaimana...? Ini kan baru berumur... kurang lebih satu bulan...?"
Tersentak Zahra mendengarnya. Ditatap lekat-lekat wajah suaminya. Sungguh suatu hal yang sulit dipercaya. Tidak disangkanya gagasan seperti itu terucap dari mulut suaminya sendiri. Zahra tahu persis Ali adalah orang yang mengerti agama.
"Tidak! Seumur hidup takkan pernah kumaafkan diriku sendiri jika hal itu dilakukan. Apa pun yang terjadi…jika Tuhan memang menghendaki, maka janin ini akan tetap kupertahankan!" tegas Zahra penuh emosional. Bergidik ia tak sanggup membayangkan bagaimana janin yang terlindung aman di dalam rahimnya diambil paksa oleh tangan-tangan jahil dan tak berperasaan. Belum lagi rasa sakit yang harus ditanggungnya, juga rasa berdosa yang akan terus menderanya. Bahkan tidak hanya itu, nyawanya pun akan turut pula dipertaruhkan.
Perdebatan tidak berlanjut. Baik Ali maupun Zahra sama-sama memilih diam.
Lama mereka mendiamkan soal itu. Kira-kira sebulan sesudah perdebatan malam itu, tiba-tiba Ali menawari istrinya untuk berjalan-jalan sekeluarga. Kepada kedua anaknya dia berjanji akan membelikan mainan.
"Bagaimana Bu... nanti sore bisakah?" Ali meminta persetujuan istrinya.
"Jangan bicara sembarangan, Yah, nanti kalau anak-anak merengek betul gimana? Untuk membeli susu saja kadang nggak kesampaian, eh… kok malah menjanjikan membeli mainan?" Zahra mengingatkan, menyangsikan ajakan suaminya.
Namun, dengan wajah cerah dan tersenyum lebar Ali menunjukkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada istrinya. "Kalau tidak mau... ya, sudah...," dengan entengnya Ali berkata seraya menggoda.
Dan acara jalan-jalan pun menjadi kenyataan. Bahkan sejak itu menjadi kebiasaan. Rezeki sepertinya selalu datang setiap diundang. Susu untuk anak-anak tak pernah kehabisan. Bermacam-macam mainan selalu dapat Ali belikan. Belanja kebutuhan untuk Zahra juga tak ketinggalan. Susu khusus untuk ibu hamil selalu terbeli. Segala perlengkapan bayi sudah dapat dipersiapkan jauh-jauh hari. Sang suami tampak bangga dan bahagia melihat anak dan istrinya sehat dan gembira penuh suka cita.
Terbersit juga rasa penasaran dalam pikiran Zahra, dari mana Ali beroleh rezeki yang sepertinya selalu datang mengalir itu? Sempat diputuskannya untuk bertanya, tetapi diurungkan kembali niatnya, khawatir akan menyinggung perasaan suaminya.
Akhirnya, Zahra tidak terlalu banyak bertanya karena ia tetap yakin bahwa rezeki yang Ali dapatkan adalah halal jua. Siapa tahu Ali memang sedang beroleh order khusus yang berkaitan dengan profesinya sebagai penulis. Itu saja yang bisa Zahra tebak.
Atau, barangkali inikah hikmah dari kehamilan? Puji syukur dalam hati Zahra. Benarlah kiranya bahwa anak membawa rezeki masing-masing.
Roda waktu seakan diputar dengan cepat. Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berganti. Tak terasa bayi dalam kandungan Zahra sudah genap usia, sembilan bulan. Dengan hati gembira disambutnya hari-hari menjelang kelahiran anaknya yang ketiga. Hari-hari yang dinanti penuh debar kebahagiaan.
Tepat dua per tiga malam Zahra terbangun. Rupanya anak yang ada di dalam kandungannya sudah meronta ingin segera melihat dunia.
"Ayah…Yah...," dengan hati-hati Zahra segera membangunkan suaminya, "sepertinya sudah waktunya...," lanjut Zahra sambil merintih menahan sakit akibat konstraksi di dalam perutnya.
Tanpa banyak bertanya Ali segera mempersiapkan diri, dan mereka pun bergegas berangkat ke klinik bersalin dengan terlebih dulu pamit kepada ibu sambil berpesan agar mengurus kedua cucunya jika mereka bangun nanti.
Baru sampai setengah perjalanan, Zahra merasa keheranan, menepuk pundak Ali.
"Lho, Yah... kenapa lewat sini? Kita ke klinik Bu Aisyah, seperti biasanya, kan?" tanya Zahra, mengingatkan.
"Tidak... Kali ini kita ke klinik lain, klinik Bu Ami. Di sana lebih bagus," jelas Ali menentramkan.
"Memangnya Ayah sudah pernah ke sana…?" selidik Zahra, masih penasaran.
"Sudahlah, kita lihat saja nanti," kata Ali memutus pembicaraan, tanpa menghiraukan keheranan istrinya.
Zahra akhirnya memilih untuk diam saja, mencoba percaya pada kata-kata suaminya, walau di hatinya masih tersimpan seribu tanda tanya. Di sisi lain dia sendiri juga disibukkan oleh rasa sakit yang melilit.
Sesampai di tempat, Zahra segera dibawa masuk kamar bersalin. Persalinan dilakukan oleh seorang bidan dibantu seorang perawat. Proses persalinan berjalan lancar dan cepat.
Tidak seperti biasanya, setelah tubuhnya dibersihkan dan pindah dari kamar bersalin, bayinya tidak diperlihatkan untuk dipeluk dan diajar menyusu dalam hangatnya dekapan kasih sayang seorang ibu. Hati Zahra bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Pikirannya mulai berkecamuk. Otaknya dipengaruhi oleh prasangka-prasangka buruk.
Akhirnya, karena rasa penasaran yang tak tertahankan lagi, ia menanyakan di mana bayinya. Ali memandang istrinya sebentar, lalu menunduk. Lama mereka terdiam, sampai akhirnya Ali menjawab dengan pelan.
"Sudah... diambil yang berhak...."
Dug. Jantung Zahra berdegup kencang. Panik. Ditatapnya mata Ali dalam-dalam, mencari kebenaran. Dinantinya kata-kata Ali lebih lanjut, walau ternyata sia-sia. Akhirnya, dengan terbata dan berurai air mata, Zahra hendak menegaskan, "Maksud Ayah... meninggal...?"
Tenggorokan Ali serasa tersekat. Hatinya pedih tersayat-sayat, tak tahan menyaksikan isak tangis dan duka-lara istrinya. Dipeluknya Zahra. Menetes airmata.
Tak sampai hati ia mengatakan peristiwa yang sesungguhnya, bahwa bayi tersebut telah dia jual, bahkan sejak masih dalam kandungan istrinya! ***
Sunday, May 02, 2004
Nokturno
Cerpen Aris Kurniawan
Setelah menghunjamkan belati ke jantung laki-laki itu menatap dengan mata kosong saat dia mengerjat meregang nyawa, perempuan itu menyeret dan membuang mayatnya begitu saja ke dalam semak-semak belakang rumah. Beberapa saat ia menatap tubuh kaku itu tersungkur memeluk belukar. Tubuh yang semalam lalu masih memberinya kehangatan. Perempuan itu kemudian buru-buru melucuti seluruh pakaiannya setelah mengepel ceceran darah di lantai, lantas mandi merendam tubuhnya dengan air hangat dalam bathtub. Hujan masih rintik-rintik menimpa genting dan daun-daun, suaranya terdengar bagai orkes malam yang menggores perasaan. Ia menikmatinya sambil meresapi sensasi kehangatan yang menjalari saraf-saraf sekujur tubuhnya sampai merem melek.
Kini ia telah berpakaian rapi. Bibir mungilnya dipoles lipstik warna merah jambu.Warna yang cocok untuk menyembunyikan kegugupan sekaligus kebuasan. Ia tersenyum sendiri di depan cermin, berusaha meyakinkan diri bahwa perasaannya tetap tenang. Di luar malam begitu hitam pekat. Angin basah berkesiur menggebrak jendela. Perempuan itu seperti tidak juga merasa yakin bahwa perasaannya tetap tenang. Di cermin ia menatap wajahnya yang pucat perlahan menegang, kerut merut kulit wajahnya makin mengeras. Wajah yang memperlihatkan bermacam keinginan yang tak pernah tuntas. Ia seperti melihat penggalan-penggalan peristiwa dengan banyak cerita yang kadang terlalu sulit dimengerti. Perempuan itu lantas menghembuskan nafas dengan berat, seakan ingin menghempaskan semua yang telah dilakukannya. Apakah sebenarnya yang aku inginkan dari semua yang sedang terjadi?
Wajah yang menyeringai menahan kesakitan luar biasa itu beberapa lama bagai nempel di pelupuk matanya. Ketika ia menatap wajahnya di cermin yang nampak adalah wajah kesakitan itu. Tapi perempuan itu terus menatapnya dan mencari-cari wajahnya sendiri di balik wajah yang menyeringai itu. Ia terbiasa untuk selalu berpikir rasional. Ia sudah terlatih untuk tidak sentimentil. Ia sudah piawai bagaimana menekan perasaan-perasaan kewanitaannya.
Apa saja yang sudah kulakukan untuk hidup yang runyam ini? Tiba-tiba pertanyaan itu memercik dalam kepalanyanya. Percikan yang semakin lama terasa semakin besar dan membuat kepalanya berdenyut nyeri. Ya, hidup macam apa yang tengah kujalanai ini? Apakah ada artinya untuk hidup itu sendiri? Perempuan itu menatap langit seperti mencari jawaban di sana. Tetapi langit masih saja kelam dan hampir tak menyisakan harapan. Ia mendesah. Masih mengiang ucapan laki-laki itu entah beberapa malam yang silam.
"Dasar pelacur. Pergilah sesukamu dan jangan pernah kembali?"
Ia merasa heran kenapa laki-laki itu merasa punya hak untuk mengatur hidupnya hanya karena dia telah menikahinya. Pernikahan yang dulu disangkanya akan dapat memberikan perlindungan bagi kebebasannya justru telah menjeratnya dalam sangkar yang penuh aturan. Untuk apa lembaga pernikahan itu? Apakah ia diciptakan memang untuk mengekang kebebasan seseorang?
"Siapakah yang salah?" batin perempuan itu mendesah. Ia menaikkan krah sweaternya lebih tinggi. Rambutnya yang keriting panjang dan sedikit pirang dia ikat ke belakang. Lantas menyalakan rokok, menyedot dan menghembuskan asapnya kuat-kuat. Betapa enaknya hidup ini bila kesulitan dapat dihembuskan semudah menghembuskan asap rokok, lamunnya.
Dulu sebelum laki-laki itu menikahinya dia sudah mengajukan beberapa persyaratan. Laki-laki itu sepakat. Kata suaminya pernikahan bukan untuk menyatukan dua pribadi yang memang tak pernah sama.
"Pernikahan adalah cuma sebuah sarana di mana orang harus punya komitmen untuk saling memahami, saling mengerti, saling menghargai. Tidak ada yang lebih berkuasa dan dikuasai di antara dua orang yang terikat dalam pernikahan. Kedua belah pihak memiliki hak yang sama dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama."
Di luar angin tak bersuara. Ia seperti bergerak mengendap dan berjingkat hendak meninggalkan malam yang bimbang. Perempuan itu bangkit dan menutup tirai jendela. Jam menunjuk angka dua. Sama sekali ia tidak mengantuk. Tiap malam ia hampir selalu begadang, membaca, menggunting tulisan-tulisan koran untuk dokumentasi, menulis novel, puisi, diskusi, cekikikan bersama teman-temannya yang juga sebenarnya teman-teman suaminya. Begitulah cara ia memberi makna pada hidup. Sebuah cara yang membuatnya bergairah memandang kehidupan yang terentang di hadapannya.
Apakah selama ini aku telah salah memaknai hidup? Benar dan salah, di manakah batasnya? Betapa ruwetnya hidup ini bila harus selalu dibatasi dengan benar dan salah. Astaga, sialan betul hidup kalau begitu.
Dua malam lalu dia baru saja menyelesaikan sebuah novelnya. Mengundang beberapa temannya untuk mendiskusikan di sebuah kafe. Menelepon pers untuk meliputnya. Acara itu berlangsung cukup meriah. Dia merasa bahagia. Merasa hidupnya tidak sia-sia. Sebaliknya laki-laki itu menganggapnya keterlaluan. Semaunya sendiri. Dan menuduhnya telah mengabaikan tugasnya sebagai perempuan, sebagai istri.
"Kamu telah melanggar hakku sebagai suami," kata suaminya.
"Dan kamu tidak melanggar hakku sebagai perempuan?!" balasnya sengit. Aku memang perempuan tapi aku juga punya hak menentukan pilihan hidupku, pikirnya. Kenapa hanya karena perkawinan seorang perempuan harus membatasi diri? Tidakkah itu penindasan terhadap hak asasi? Apa yang membedakan perempuan dan laki-laki sehingga mereka harus dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin dalam pekerjaan, peran sosial, dan norma-norma yang tidak jelas hubungannya itu. Apa memang harus begitu? Siapa yang mengharuskan?
Dari dulu sebenarnya dia bertekad untuk tidak menikah. Baginya menikah sama saja dengan menyerahkan kebebasannya pada aturan-aturan yang tidak rasional dan diskriminatif. Dia sudah banyak menulis cerpen, esai, maupun novel untuk menuangkan gagasan-gagasannya. Dia ingin setia dengan tulisan-tulisannya. Dia membenci sebagian teman-temannya yang cuma bisa menulis sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka menyerah dan hampir tidak ada usaha apa pun untuk merombak keadaan yang dikecamnya sendiri. Di matanya mereka tak lebih dari pembual-pembual nomor satu. Tidak punya komitmen dan cuma menjual kebohongan-kebohongan untuk menunjang hidupnya. Ya, dia melihat satu per satu teman-temannya menikah dan meninggalkannya.
"Ya menikah dan berbahagialah kalian bersama keluarga."
Dia tidak percaya bahwa pernikahan sebagai satu-satunya cara menjalani kehidupan untuk bahagia. Namun begitulah, dia juga tidak percaya kenapa kemudian dirinya harus menikah. Semuanya seperti begitu saja berlangsung. Begitu cepat, begitu tak terkendali. Sampai tiba-tiba dia mendapati dirinya sebagai ibu rumah tangga yang harus tunduk pada sejumah aturan. Harus bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan untuk suami, meracik kopi, mencuci, belanja ke pasar, tawar-menawar dengan penjual sayuran, menyapu halaman mengepel lantai, menyiram tanaman, bila malam melayani suami di ranjang. Wejangan-wejangan, nasihat-nasihat?
"Perempuan itu harus pintar masak. Harus pandai dandan, menjaga badan. Tidak boleh bangun, kesiangan, tidak boleh pergi sendirian, tidak boleh urakan, tidak boleh melawan tidak boleh?"
Untuk beberapa bulan ia berusaha mengikuti kebiasaan yang sudah berjalan. Belajar menikmati perannya sebagai perempuan setia meskipun dalam benaknya tak pernah percaya dengan ide semacam itu. Menganggapnya lucu. Akhirnya ia memang tidak tahan menahan-nahan kemelut dalam benaknya sendiri.
Perempuan itu menghempaskan tubuhnya ke sofa, memandang langit-langit. Di sana ia seakan mencari jalan hidup mana yang harus ditempuhnya. Tapi semuanya seakan menggelap dan sukar ditebak. Ia bangkit lagi. Malam kian larut melantunkan kesunyian yang akut. Hujan sudah selesai. Suara katak yang berirama di luar terdengar sangat merdu bagai datang masa lalu.
Perempuan itu tiba-tiba tersenyum, ada semacam kecemasan menggelikan yang tiba-tiba menyergapnya. Hidup memang penuh jebakan, batinnya. Siapakah yang telah memasang jebakan-jebakan itu? Tidakkah manusia merasa dijebak? Perempuan itu bangkit, lalu berjalan hilir mudik di tengah ruangan yang seakan bungkam dan tak mau komentar apa-apa. Biasanya ruangan ini selalu melontarkan komentar-komentar tentang penghuninya. Benda-benda pun kadang memperhatikan dan mengomentari tindakan manusia. Cara mereka merespons itulah yang tidak setiap orang merasakannya.
Pada masa remaja ia pernah pacaran dengan beberapa laki-laki. Ia heran, setiap laki-laki selalu menuntut kesetiaan. Sementara ia merasa setiap orang tidak harus setia pada seseorang. Setiap orang tidak punya hak menuntut orang lain untuk setia pada seseorang. Setiap orang lahir untuk meraih kemerdekaanya masing-masing.
"Apa hakmu memintaku setia? Aku ini orang merdeka." Begitu selalu kredonya.
Terdengar ayam jantan berkokok. Nampaknya hari menjelang subuh. Perempuan itu seperti baru tersadar dari tidur, dia tergeragap dan melangkah cepat-cepat masuk kamar. Ia telah menyiapkan tas besar dan memasukkan beberapa potong pakaian, buku-buku serta peralatan kecantikan. Lantas dengan sigap mengenakan sepatu ketsnya yang berwarna putih.
"Aku harus pergi," ucapnya pada diri sendiri.
Dia bersiap meninggalkan rumah itu tepat ketika azan Subuh melengking dari sebuah musala tua satu-satunya di kompleks perumahan itu. Namun hatinya kembali goyah. Ia memandang rumah itu dengan perasaan kosong yang sulit dijelaskan seperti apa. Diam-diam penyesalan dan rasa salah menyelinap di benaknya. Makin lama makin membesar. Perasaan yang baru kali itu dialaminya. Lantas ragu harus pergi ke mana. Lantas ia merasa semuanya tak berguna. Lantas meraih belati yang tadi digunakan untuk membunuh suaminya, menggegamnya erat-erat dengan kedua belah tangannya, lantas diangkatnya tinggi-tinggi dan diayunkannya dengan mantap ke dadanya? ***
Tangerang, 2004
Setelah menghunjamkan belati ke jantung laki-laki itu menatap dengan mata kosong saat dia mengerjat meregang nyawa, perempuan itu menyeret dan membuang mayatnya begitu saja ke dalam semak-semak belakang rumah. Beberapa saat ia menatap tubuh kaku itu tersungkur memeluk belukar. Tubuh yang semalam lalu masih memberinya kehangatan. Perempuan itu kemudian buru-buru melucuti seluruh pakaiannya setelah mengepel ceceran darah di lantai, lantas mandi merendam tubuhnya dengan air hangat dalam bathtub. Hujan masih rintik-rintik menimpa genting dan daun-daun, suaranya terdengar bagai orkes malam yang menggores perasaan. Ia menikmatinya sambil meresapi sensasi kehangatan yang menjalari saraf-saraf sekujur tubuhnya sampai merem melek.
Kini ia telah berpakaian rapi. Bibir mungilnya dipoles lipstik warna merah jambu.Warna yang cocok untuk menyembunyikan kegugupan sekaligus kebuasan. Ia tersenyum sendiri di depan cermin, berusaha meyakinkan diri bahwa perasaannya tetap tenang. Di luar malam begitu hitam pekat. Angin basah berkesiur menggebrak jendela. Perempuan itu seperti tidak juga merasa yakin bahwa perasaannya tetap tenang. Di cermin ia menatap wajahnya yang pucat perlahan menegang, kerut merut kulit wajahnya makin mengeras. Wajah yang memperlihatkan bermacam keinginan yang tak pernah tuntas. Ia seperti melihat penggalan-penggalan peristiwa dengan banyak cerita yang kadang terlalu sulit dimengerti. Perempuan itu lantas menghembuskan nafas dengan berat, seakan ingin menghempaskan semua yang telah dilakukannya. Apakah sebenarnya yang aku inginkan dari semua yang sedang terjadi?
Wajah yang menyeringai menahan kesakitan luar biasa itu beberapa lama bagai nempel di pelupuk matanya. Ketika ia menatap wajahnya di cermin yang nampak adalah wajah kesakitan itu. Tapi perempuan itu terus menatapnya dan mencari-cari wajahnya sendiri di balik wajah yang menyeringai itu. Ia terbiasa untuk selalu berpikir rasional. Ia sudah terlatih untuk tidak sentimentil. Ia sudah piawai bagaimana menekan perasaan-perasaan kewanitaannya.
Apa saja yang sudah kulakukan untuk hidup yang runyam ini? Tiba-tiba pertanyaan itu memercik dalam kepalanyanya. Percikan yang semakin lama terasa semakin besar dan membuat kepalanya berdenyut nyeri. Ya, hidup macam apa yang tengah kujalanai ini? Apakah ada artinya untuk hidup itu sendiri? Perempuan itu menatap langit seperti mencari jawaban di sana. Tetapi langit masih saja kelam dan hampir tak menyisakan harapan. Ia mendesah. Masih mengiang ucapan laki-laki itu entah beberapa malam yang silam.
"Dasar pelacur. Pergilah sesukamu dan jangan pernah kembali?"
Ia merasa heran kenapa laki-laki itu merasa punya hak untuk mengatur hidupnya hanya karena dia telah menikahinya. Pernikahan yang dulu disangkanya akan dapat memberikan perlindungan bagi kebebasannya justru telah menjeratnya dalam sangkar yang penuh aturan. Untuk apa lembaga pernikahan itu? Apakah ia diciptakan memang untuk mengekang kebebasan seseorang?
"Siapakah yang salah?" batin perempuan itu mendesah. Ia menaikkan krah sweaternya lebih tinggi. Rambutnya yang keriting panjang dan sedikit pirang dia ikat ke belakang. Lantas menyalakan rokok, menyedot dan menghembuskan asapnya kuat-kuat. Betapa enaknya hidup ini bila kesulitan dapat dihembuskan semudah menghembuskan asap rokok, lamunnya.
Dulu sebelum laki-laki itu menikahinya dia sudah mengajukan beberapa persyaratan. Laki-laki itu sepakat. Kata suaminya pernikahan bukan untuk menyatukan dua pribadi yang memang tak pernah sama.
"Pernikahan adalah cuma sebuah sarana di mana orang harus punya komitmen untuk saling memahami, saling mengerti, saling menghargai. Tidak ada yang lebih berkuasa dan dikuasai di antara dua orang yang terikat dalam pernikahan. Kedua belah pihak memiliki hak yang sama dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama."
Di luar angin tak bersuara. Ia seperti bergerak mengendap dan berjingkat hendak meninggalkan malam yang bimbang. Perempuan itu bangkit dan menutup tirai jendela. Jam menunjuk angka dua. Sama sekali ia tidak mengantuk. Tiap malam ia hampir selalu begadang, membaca, menggunting tulisan-tulisan koran untuk dokumentasi, menulis novel, puisi, diskusi, cekikikan bersama teman-temannya yang juga sebenarnya teman-teman suaminya. Begitulah cara ia memberi makna pada hidup. Sebuah cara yang membuatnya bergairah memandang kehidupan yang terentang di hadapannya.
Apakah selama ini aku telah salah memaknai hidup? Benar dan salah, di manakah batasnya? Betapa ruwetnya hidup ini bila harus selalu dibatasi dengan benar dan salah. Astaga, sialan betul hidup kalau begitu.
Dua malam lalu dia baru saja menyelesaikan sebuah novelnya. Mengundang beberapa temannya untuk mendiskusikan di sebuah kafe. Menelepon pers untuk meliputnya. Acara itu berlangsung cukup meriah. Dia merasa bahagia. Merasa hidupnya tidak sia-sia. Sebaliknya laki-laki itu menganggapnya keterlaluan. Semaunya sendiri. Dan menuduhnya telah mengabaikan tugasnya sebagai perempuan, sebagai istri.
"Kamu telah melanggar hakku sebagai suami," kata suaminya.
"Dan kamu tidak melanggar hakku sebagai perempuan?!" balasnya sengit. Aku memang perempuan tapi aku juga punya hak menentukan pilihan hidupku, pikirnya. Kenapa hanya karena perkawinan seorang perempuan harus membatasi diri? Tidakkah itu penindasan terhadap hak asasi? Apa yang membedakan perempuan dan laki-laki sehingga mereka harus dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin dalam pekerjaan, peran sosial, dan norma-norma yang tidak jelas hubungannya itu. Apa memang harus begitu? Siapa yang mengharuskan?
Dari dulu sebenarnya dia bertekad untuk tidak menikah. Baginya menikah sama saja dengan menyerahkan kebebasannya pada aturan-aturan yang tidak rasional dan diskriminatif. Dia sudah banyak menulis cerpen, esai, maupun novel untuk menuangkan gagasan-gagasannya. Dia ingin setia dengan tulisan-tulisannya. Dia membenci sebagian teman-temannya yang cuma bisa menulis sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka menyerah dan hampir tidak ada usaha apa pun untuk merombak keadaan yang dikecamnya sendiri. Di matanya mereka tak lebih dari pembual-pembual nomor satu. Tidak punya komitmen dan cuma menjual kebohongan-kebohongan untuk menunjang hidupnya. Ya, dia melihat satu per satu teman-temannya menikah dan meninggalkannya.
"Ya menikah dan berbahagialah kalian bersama keluarga."
Dia tidak percaya bahwa pernikahan sebagai satu-satunya cara menjalani kehidupan untuk bahagia. Namun begitulah, dia juga tidak percaya kenapa kemudian dirinya harus menikah. Semuanya seperti begitu saja berlangsung. Begitu cepat, begitu tak terkendali. Sampai tiba-tiba dia mendapati dirinya sebagai ibu rumah tangga yang harus tunduk pada sejumah aturan. Harus bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan untuk suami, meracik kopi, mencuci, belanja ke pasar, tawar-menawar dengan penjual sayuran, menyapu halaman mengepel lantai, menyiram tanaman, bila malam melayani suami di ranjang. Wejangan-wejangan, nasihat-nasihat?
"Perempuan itu harus pintar masak. Harus pandai dandan, menjaga badan. Tidak boleh bangun, kesiangan, tidak boleh pergi sendirian, tidak boleh urakan, tidak boleh melawan tidak boleh?"
Untuk beberapa bulan ia berusaha mengikuti kebiasaan yang sudah berjalan. Belajar menikmati perannya sebagai perempuan setia meskipun dalam benaknya tak pernah percaya dengan ide semacam itu. Menganggapnya lucu. Akhirnya ia memang tidak tahan menahan-nahan kemelut dalam benaknya sendiri.
Perempuan itu menghempaskan tubuhnya ke sofa, memandang langit-langit. Di sana ia seakan mencari jalan hidup mana yang harus ditempuhnya. Tapi semuanya seakan menggelap dan sukar ditebak. Ia bangkit lagi. Malam kian larut melantunkan kesunyian yang akut. Hujan sudah selesai. Suara katak yang berirama di luar terdengar sangat merdu bagai datang masa lalu.
Perempuan itu tiba-tiba tersenyum, ada semacam kecemasan menggelikan yang tiba-tiba menyergapnya. Hidup memang penuh jebakan, batinnya. Siapakah yang telah memasang jebakan-jebakan itu? Tidakkah manusia merasa dijebak? Perempuan itu bangkit, lalu berjalan hilir mudik di tengah ruangan yang seakan bungkam dan tak mau komentar apa-apa. Biasanya ruangan ini selalu melontarkan komentar-komentar tentang penghuninya. Benda-benda pun kadang memperhatikan dan mengomentari tindakan manusia. Cara mereka merespons itulah yang tidak setiap orang merasakannya.
Pada masa remaja ia pernah pacaran dengan beberapa laki-laki. Ia heran, setiap laki-laki selalu menuntut kesetiaan. Sementara ia merasa setiap orang tidak harus setia pada seseorang. Setiap orang tidak punya hak menuntut orang lain untuk setia pada seseorang. Setiap orang lahir untuk meraih kemerdekaanya masing-masing.
"Apa hakmu memintaku setia? Aku ini orang merdeka." Begitu selalu kredonya.
Terdengar ayam jantan berkokok. Nampaknya hari menjelang subuh. Perempuan itu seperti baru tersadar dari tidur, dia tergeragap dan melangkah cepat-cepat masuk kamar. Ia telah menyiapkan tas besar dan memasukkan beberapa potong pakaian, buku-buku serta peralatan kecantikan. Lantas dengan sigap mengenakan sepatu ketsnya yang berwarna putih.
"Aku harus pergi," ucapnya pada diri sendiri.
Dia bersiap meninggalkan rumah itu tepat ketika azan Subuh melengking dari sebuah musala tua satu-satunya di kompleks perumahan itu. Namun hatinya kembali goyah. Ia memandang rumah itu dengan perasaan kosong yang sulit dijelaskan seperti apa. Diam-diam penyesalan dan rasa salah menyelinap di benaknya. Makin lama makin membesar. Perasaan yang baru kali itu dialaminya. Lantas ragu harus pergi ke mana. Lantas ia merasa semuanya tak berguna. Lantas meraih belati yang tadi digunakan untuk membunuh suaminya, menggegamnya erat-erat dengan kedua belah tangannya, lantas diangkatnya tinggi-tinggi dan diayunkannya dengan mantap ke dadanya? ***
Tangerang, 2004
0 comments:
Post a Comment