Random Post

Saturday, June 5, 2010

Cerpen - Namaku Suci

Aishah Basar

Namaku Suci.
Itulah yang dapat kukatakan supaya orang-orang bias memanggilku. Sebaiknya jangan tanya darimana asalku. Aku sudah bersumpah untuk takkan pernah mengingat tempat itu lagi. Tempat aku lahir dan dibesarkan…
Klik. Seseorang mematikan tape rekaman itu. Teman yang duduk di sebelahnya menunggu.

“Kedengarannya memang dia,” tanggap orang itu
“Baiklah, kuteruskan kasetnya. Mungkin ada lagi yang bias kau ingat selain namanya.” Temannya kembali menghidupkan tape itu.
Jangan tanya rumahku, sebab rumah itu sudah hancur saat kutinggalkan. Hancur bersama impian dan harapan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, aku harus kehilangan rumah yang damai dan penuh cinta. Tapi aku bukanlah satu-satunya yang mengalami kejadian itu. Seenaknya saja mereka menghancurkan rumah-rumah, bahkan membunuh para penghuninya. Bagi mereka, manusia dan kehidupan bagaikan seonggok barang tak berharga saja layaknya.

Suara tape itu dihentikan lagi. Terdengar helaan nafas panjang.
“Dia memang Suci. Aku hafal semuanya.” Orang itu memastikan.
“Tapi kau mengenalnya tiga tahun yang lalu, Roy. Bisa saja suaranya berubah.” Temannya menanggapi.
“Aku yakin, dia pasti Suci. Gadis yang sempat kulatih berteater sewaktu mengadakan kunjungan ke sana. Dia datang dari kota itu bukan?” orang yang ternyata bernama Roy itu minta kepastian. Temannya mengangguk> Merasa puas dengan anggukan temannya, Roy kembali mendengarkan rekaman itu.
Aku punya ayah dan ibu, seperti yang lainnya. Tapi setahun yang lalu ayahku pergi. Tepatnya, melarikan diri. Sampai saat ini aku tak pernah mengerti, kenapa ayah dituduh sebagai pemberontak. Padahl ayahku begitu baik. Ayah yang sangat menyayangi kami. Ayah rajin bekerja di ladang, hingga hidup kami berkecukupan.

Yang kutahu, ayah yang berada di ladang, Bagaimana mungkin ia dikatakan menjadi pemberontak?Jahat sekali orang yang tega menuduhnya. Bukan hanya menuduh, tapi ingin membunuhnya. Itu sebabnya mengapa ayah lari.
Ayah meninggalkan kami pada malam yang gelap dan sunyi. Sampai sekarang aku tak pernah melihatnya lagi. Orang-orang bilang, mungkin ayah sudah mati di hutan.

Kami hidup dalam ketakutan setelah kepergian ayah. Beberapa orang mendatangi rumah kami. Mereka mengancam kami, menanyakan di mana ayah. Apa yang bias kukatakan. Kami memang tak tahu ke mana pergi. Seandainya pun aku tahu, tak sudi aku mengatakannya kepada mereka.
Kegeraman mereka karena tak mendapatkan ayah, mereka lampiaskan pada kami. Aku dan ibu. Kami disiksa. Sebuah perlakuan yang belum pernah kualami seumur hidupku. Tapi tak kupedulikan kesakitan yang menimpaku. Aku hanya memikirkan ibu. Hancur hatiku melihat ibu terluka.Setelah mereka puas, kami ditinggalkan begitu saja.

Hari-hari selanjutnya, kusaksikan satu per satu temanku, tetanggaku, mengalami nasib tragis. Tak mampu kuceritakan semua. Kalau ingin tahu, bacalah buku. Pasti sudah banyak buku baru yang muncul memaparkan kehidupan neraka di kota kecilku…
Roy menekan tombol stop pada tape itu. Ia mengusap wajahnya yang berkeringat.

“Sudah lama dia di sini?” Tanya Roy lagi.
“Hampir enam bulan.” Temannya menjawab pasti.
Roy sudah mendengar itu sejak temannya datang tadi. Roy hanya ingin memastikan kembali. Roy pernah bercerita kepada temannya bahwa ia pernah berkunjung ke kota itu. Itulah alasan temannya membawa kaset rekaman itu kepada Roy. Barangkali Roy mengenal salah seorang gadis pengungsi yang berhasil ditemuinya.

Gadis bernama Suci itu, tidak punya kerabat di kota ini. Dia ikut dengan temannya yang kebetulan mempunyai keluarga di sini.
Roy bangkit dari duduknya. Dia mengambil air minum dari kulkas. Diteguknya segelas dan menyodorkan segelas lagi kepada temannya. Kini ia mendengarkan suara gadis itu sambil berdiri.

Aku bertanya-tanya dalam hati kini. Apakah lagi yang mampu kuucapkan saat melihat ibuku disakiti, sementara aku dikekang oleh sebuah kekuatan yang tak mampu kulawan?

Saat itu tak ada lagi kupikirkan apa yang terjadi padaku. Yang kupikirkan hanya ibu. Aku cuma bisa menangis. Suaraku telah hilang pula dirampas kengerian. Di depan mataku, kusaksikan lebih dari satu orang lelaki menghancurkan kehormatan ibuku. Ibu….(suara di dalam kaset itu terdengar parau, dalam isakan yang tertahan).

Aku juga mempunyai seorang adik laki-laki. Dia gagah sekali. Malam itu tiba-tiba saja dia muncul. Dia mengamuk arah melihat semua yang terjadi. Nampaknya dia sudah tak punya rasa takut lagi.

Aku sempat terkesima. Mengapa adikku begitu berani datang ke rumah. Padahal selama ini dia dibawa oleh seorang kerabat ke tempat yang aman.
Tamatlah ia, Meski berhasil menghujamkan pisaunya ke dada seorang lawan, ia tetap kalah. Adikku diseret beramai-ramai. Tak ada yang berani membelanya. Aku jadi kaku. Lidahku kelu. Terdengarlah serentetan tembakan. Di halaman rumah, adikku roboh bersimbah darah. Tak ada yang boleh mendekatinya. Aku menangis. Menjerit…..
Secepat kilat Roy menghentikan suara itu. Roy terhempas di kursi. Dia tutup kedua telinganya dengan tangan kaku. Matanya dipejamkan kuat-kuat. Wajah gadis itu nampak jelas dalam ingatannya.

“Masih kuat Roy?” Terdengar suara temannya. Roy hamper lupa, ia tak sendirian di ruangan itu. Roy memandang temannya dan mengangguk. Kaset rekaman itu berputar lagi.

Esok paginya,bersama para tetangga, kami kubur mayat adikku. Sekelebat kenangan masih sempat bermain dalam ingatanku. Kami berlarian di ladang. Berlomba-lomba memetik buah matang. Kami mengumpulkannya dengan bangga di hadapan ayah. Kami selalu pergi sekolah bersama. Ah, betapa tampan wajah adikku.

Upacara pemakam itu tiba-tiba disentakkan oleh suara tembakan. Suara hardikan di sana-sino. Orang-orang berhamburan. Suasana jadi kalut.
Kucari ibuku. AKan kugenggam tangannya dan membawa lari bersamaku. Bersama orang-orang yang juga berlari. Aku belum sempat mendekatinya ketika terdengar suara ledakan keras dari arah rumahku. Disusul beberapa rumah lain. Suara jeritan terdengar di mana-mana.
Kembali kuingat ibuku.

Aku berlari mendapatkannya. Tak terasa kami telah terpisah jauh. Ibu melambai ke arahku. Tapi tiba-tiba, ibu berhenti. Matanya terbeliak. Aku menjerit. Ibu terjatuh dengan darah penuh di dadanya. Aku menerjang sekuat tenaga kea rah ibu. Tapi terasa sebuah tangan yang kuat menarikku. Saat itu aku benar-benar hilang akal. Aku terus ditarik jauh, meninggalkan tempat itu. Meninggalkan ibuku yang tak tertolong lagi. Aku masih sempat menatap matanya di saat terakhir. Ibuku….(terdengar suara tangisan agak lama, lalu helaan nafas yang berat penuh beban).

Aku tak tahu, siapa yang mengubur mayat ibuku. Aku tak tahu di mana ia dimakamkan. Ke mana aku harus menjiarahi makamnya. Juga makam ayahku.
Kalau aku bisa selamat sampai di sini, kuyakini ini sebagai mukjizat. Aku datang ke mari tanpa apa-apa. Yang ada hanya seonggok raga dan jiwa sekarat. Berhari-hari aku diam, tak mampu bicara. Aku masih berharap kiranya semua yang terjadi itu hanya mimpi buruk. Aku ingin saat terbangun dari tidur, dapat kulihat kembali wajah ayahku, ibu dan adikku. Tapi semua ini bukan mimpi…
Roy menghentikan kaset itu. Ia menangis tanpa sadar. Lama ditutupinya wajahnya. Roy baru menoleh ketika bahunya disentuh.

“Aku ingin bertemu dengan Suci.” Roy bersuara. Temannya mengangguk.
“Bisa..Besok pagi kita ke rumah itu. Sekalian aku mau ambil fotonya. Kalau Suci berkenan.”
“Bagaimana keadaannya?”
“O, dia sehat. Besok kau lihat sendirilah itu.” Temannya menjawab ringan. Roy menerawang.
“Oke Roy, aku keluar sebentar.” Tanpa jawaban, Roy ditinggal sendiri dalam ruangan ber-AC itu.

Roy memandangi pita kaset yang hamper habis itu. Ia mengenangkan gadis bernama Suci. Sangat cantik wajahnya. Sayang sekali nasibnya tak cantik. Kalau kemelut itu tak terjadi di sana, pasti Suci bisa terus sekolah. Suci akan menamatkan SMU-nya. Memang bukan hanya Suci yang kehilangan banyak hal. Ada banyak jiwa yang menggelepar di sana. Trauma. Setan-setan seperti sengaja diutus untuk menyebar maut di sana. Menyusup ke dalam diri orang-orang kalap. Melakukan penghancuran besar-besaran. Penghancuran hak asasi manusia, hak untuk bebas dari rasa takut, hak hidup layak, hak bicara.

Roy belum menyaksikan pergolakan itu saat berkunjung tiga tahun yang lalu. Suci baru masuk SMu ketika Roy mengenalnya. Waktu itu, Roy bersama temannya dari sebuah LSM sedang membuat pemetaan pariwisata. Sambil mengisi waktu, Roy bergabung dengan mahasiswa setempat yang kebetulan sama-sama berteater seperti dirinya. Mereka tengah mengadakan kegiatan workshop teater dan menjaring siswa dari beberapa SMU yang berminat mengikuti kegiatan itu. Suci termasuk di dalamnya. Ternyata Suci memang berbakat. Ia bercita-cita menjadi seorang penulis dan ingin menekuni dunia teater. Roy member semangat agar Suci melanjutkan kuliah setamat SMU.

Cuma tiga bulan mereka bertemu. Setelah berpisah, Roy selalu menuli surat untuknya. Selalu ditulisnya yang ringan-ringan saja. Roy tak mau mengusik gadis itu dengan luapan hasrat yang ada dalam hatinya. Suci teramat lugu. Anggun dan suci, seperti namanya. Roy merindukannya dalam diam. Tak seorang pun tahu.

Roy semakin diam ketika Suci tak lagi membalas surat-suratnya. Hubungan mereka terputus. Tak lama, terbetiklah kabar adanya pergolakan hebat di sana. Roy ingin mencari tahu keadaan Suci. Namun banyak hal yang membuatnya tak mendapat kesempatan untuk pergi. Roy tak akan pernah melupakannya,
Gadis seperti Suci tak pantas menerima kemalangan ini. Roy meneruskan rekaman yang tinggal sedikit itu.
Namaku, Suci. Umurku depalan belas tahun lebih. Sekarang aku sedang menanti kelahiran anak pertamaku. Aku tidan punya suami. Aku tak pernah tahu siapa ayah bayiku. Tapi, aku kenal, seragamnya…

Loading...

0 comments:

Post a Comment