Random Post

Saturday, June 5, 2010

Cerpen - Yang Dibalut Lumut By : Azhari

Azhari


Ada yang mengapung bagai keranjang Musa, terlapik oleh sesuatu yang berwarna hijau. Hijau menebal dari leher hingga ke panggul – serupa zirah. Alangkah terkesimanya Ranie. Tapi bukankah itu seonggok jasad. Jasad itu tersangkut pada batu. Selangkangnya ditubruk oleh aliran air yang keruh. Ranie menarik kembali celana yang dipelortkannya. Urung ia berhajat.
Turun ia ke sungai yang lumayan besar itu. Mengangkat jasad yang setengah tubuhnya berwarna hijau. Hidungnya disengat lumut. Aneh, jasad ini dibalut lumut dan terendus aroma bangkai. Dikuaknya lumut yang menyelimuti tubuh orang itu. Ada nganga di kiri dadanya, bekas tembakan. Tapi bukankah ini MUngkar?Orang yang dieksekusi beberapa hari lalu. Ranie terpacak kaku. Jasad itu lepas dari tangannya. Bam! Jatuh ke air.

***
Kami tak lagi mencari ikan. Tidak ada tempat buat melabuhkan jarring. Sungai itu dipenuhi mayat-mayat yang dihanyutkan. Berkali-kali sudah tubuh-tubuh itu sangkut di mata jaring, repot sekali tatkala endak melepaskannya, apalagi yang sangkut itu bagian telinga, jempol kaki, kemaluan, ataupun rahang.

Setiap hari ada empat-lima tubuh yang mengapung. Sekali-kali kalau sudah mendesak, kakek baru akan mengail beberapa ekor ikan buat ditukarkan dengan belacan dan garam, tentu, setelah terlebih dahulu menyingkirkan tubuh-tubuh yang apung dengan pengayuh dari bamboo yang panjang. Kubantu kakek menyingkirkan tubuh-tubuh itu dengan mendorong-dorongkannya dengan kaki, menjauhkan dari rakit kami. Membantu tubuh itu agak ke tengah sungai agar air mudah melarung ke muara.

Kakek melarang aku memakan ikan di sungai itu. Tidak baik, kata kakek, sebab bukan tidak mungkin ikan-ikan telah memakan serpih-serpih daging dari tubuh-tubuh yang apung.
“Kalau sekedar untuk dijual atau ditukarkan dengan garam atau belacan tak apa-apa. Sebab cuma itu mata pencaharian kita. Ini memang zaman sulit,” tambah kakek.

Kakek tak tahu aku sembunyikan beberapa ekor ikan di kantung celana. Dan aku membakarnya di tungku. Harum sekali baunya ketika menuju matang. Aku suka sekali melihat kulit ikan meletup-letup bagai gelembung karena diatasnya kuoles jintan. Ikan yang kumasukkan ke kantung celana tak lebih dari dua ekor, sebab celanaku memang berkantung dua. Aku berbagi dua dengan Pocut. Karena aku teramat idam dengan otak-apalgi jika aku berhasil membawa ikan gabus yang sebesar lengan-maka aku mengambil bagian tengah ke kepala. Pocut mendapatkan bagian tengah ke ekor. Yang seekor lagi kuberikan pada ibu. Ibuku gila, kata orang. Tapi orang gila juga perlu makan kan?

Sebenarnya sejak bapak diculik, ibu memang agak payah, suka mengurung diri di kamar, tak hendak mengerjakan sesuatu apapun. Aku marah jika orang menyebut ibu gila. Menurutku, ibu tidaklah gila. Ibu cuma ingat bapak. Seperti juga aku sudah seminggu bapak diculik. Bapak diculik pada sebuah malam ketika bulan tak bersinar. Aku tak melihatnya, aku sangat lelah malam itu, dan aku tidur nyenyak. Paginya kulihat ibu tersedu dekat guci air. Kakek yang memberitahukan aku.

“Bukan hanya bapakmu yang diambil,” kata kakek,
“Tapi juga Teuku Ibnu, Pawang Itam, Haji Gapi, ada tujuh belas dari mukim kita.”
“Mereka menculik sambil mendengungkan assalamu’alaikum dan bismillah. Biadab! Apa salah suamiku?” ratap ibu.
“Jaga suaramu Hamama! Itu karena masjid telah dibakar. Dan lebih dua puluh teungku ngaji diracun.”
“Tapi suamiku tak melakukannya!”
Kepadaku kakek menjelaskan , bapak diambil karena ada sangkut pautnya dengan pe-ka-i. Aku tak tahu apa itu pe-ka-i.
“Tapi aku tak yakin bapakmu pe-ka-i. Itulah barangkali ia sering ke kota, maka disangkutpautkan.”
“Mari mencari bapakmu,” kata kakek beberapa kemudian.
Kakek mengajakku ke sungai di mana biasanya kami melabuhkan jaring sungai yang melimpah dengan tubuh-tubuh yang apung.
Di sungai ini kini kami mencari bapak.
“Kalau begitu bapak sudah menjadi mayat?” tanyaku.
Aku menyesal telah memakan ikan dan menghisap otaknya. Berarti aku juga telah memakan tubuh bapak lewat serpih-serpih daging yang dimakan ikan-ikan.
“Kita cari dulu,” kata kakek.

Sepanjang hari kami mencari bapak. Sepanjang sungai. Rakit mengarah ke rumpun bambu yang dahan-dahannya melengkung seperti hendak menciduk air. Terdengar gemerutuk batang bambu yang saling berhimpit. Daun-daun bambu jatuh bergulung. Aku ingat jin besar yang diceritakan kakek yang tertidur dalam gerumbul bambu. Aku pucat pasi, dan mulai terkencing.
Kakek terkekeh. “Tenang Ranie. Jin itu tak akan meludahimu dengan liurnya.”
Kakek dan aku membalikkan setiap tubuh yang tak lagi sempurna. Ada yang dahinya retak seperti kena tetak. Seonggok jasad terbburai. Kebanyakan tubuh tak berkepala. Hari ini ada Sembilan tubuh yang tergenang. Setiap kali membalikkannya aku berharap semoga bukan bapak.

“Guru Amini namanya. Dia ini guru murtad. Dia melarang pelajaran agama di sekolahnya. Dia juga yang membakar masjid. Kakek menunjuk-nunjuk pengayuh pada sosok tubuh. Ada yang kemilau dipantul matahari di sela jemarinya yang membusuk, sebuah cincin.

“Yang lehernya terikat tali. Yang rambutnya memutih seluruh juga cambang, juga misai. Namanya Husein Paneuk. Dia lurah kampong Banda. Bekas KNIL. Kudengar, dia yang bakar penggilingan padi Hadji Musa.”
“Kau lihat tubuh yang mulutnya terbuka, ada empat gigi emas, atas bawah, Agam Musdin, dia juga yang membakar masjid. Sebelum menjadi Mantra Polisi, dulunya aneuk cahi Seudati.”
“Seudati yang tepuk-tepuk dada itu?” tanyaku.
Kakek mengangguk.
“Ini Apek Liong. Dia datang dari Malaysia. Aku pernah berutang lima puluh rupiah kepadanya. Dan harus membayar dua ratus lima puluh rupiah. Ini Mak Tinah. Dia tukang teluh, dia yang membongkar kubur kanak-kanak dan mengambil hati dan lidah bayi-waktu hndak mebongkar kubur anak Kerani Muhib dua tahun lalu, Mak Tinah terpergok, dan orang-orang yang menjaga kubur malam itu mengejarnya dengan pelepah kelor. Tapi dia menghilang begitu cepat seperti angin, begitu yang kudengar. Lalu dia diusir dari kampong kita.”
“Tubuh-tubuh yang lain aku tak mengenalinya. Mungkin dari Kota Atas. Atau dari daerah lain.”

Hari ini tak ada tubuh bapak. Aku berdoa di dalam hati, semoga bapak tak pernah seperti tubuh-tubuh itu.
“Lihat tubuh ini Ranie,” kata kakek keesokan harinya. Tubuh itu dibalikkannya.
“Ada yang membungkusnya seperti lumut. Hiruplah baunya tak tercium aroma bangkai.” kakek berseru.
“Tapi ini bukankah…Imum Hanip? Imum Hanip! Aku kenal dia Ranie. Sangat kenal. Dia yang menanggung dua puluh batang kayu untuk tiang masjid mukim kita. Dia pula yang membangun madrasah, kau harus sekolah disana kelak.
Dia yang memberi namamu Muhammad Ranie. Dia orang Syiah. “Kakek mengusap muka jasad itu.”Dan ini Lukam Bisu. Tak tahu aku kesalahan apa yang telah diperbuat oleh seorang guru seperti dia.”

Hari ini juga tak ada tubuh bapak. Kami mendapatkan empat tubuh yang dibalut lumut. Dalam perjalanan pulang, kakek terus bercerita mengenai tubuh-tubuh yang dibalut lumut. Kakek mengatakan, mustahil mereka berbuat sesuatu kejahatan yang merugikan orang banyak.

“Nanto, aku tahu dia memang tak pernah sembahyang, karena itu aku tak pernah marah besar padanya. Katanya, dia tak mau sembahyang bukan karena dia tak percaya Tuhan. Tapi menurutnya, karena dia belum siap saja. Sembahyang itu harus bersih luar dalam., dia tak mau menghadap Tuhan dalam keadaan yang tak bersih, semisal hati kita masih memendam dengki terhadap orang lain, atau termasuk orang yang membiarkan anak yatim kelaparaan, padahal kita berkecukupan, bahkan sudah dua-tiga kali berhaji. Menurutnya tak ada gunanya sembahyang dalam keadaan demikian, sia-sia. Kau tahu Ranie, setiap maulud, hari raya qurban dan kenduri laot, dia selalu menyedehkahkan seratus-dua ratus kelapa, atau seekor-dua kambing. Dan yang terpenting dia tak pernah lupa berzakat.”

Umar tak bisa tulis baca, tapi buat apa tetek bengek itu buatnya? Almarhum Toke Rasyid bapaknya, mewariskan berpuluh kebun cengkeh, kau lihat bukit utara, bukit tenggara,” jari kakek menunjuk-nunjuk ke arah gunung, “Itu semua kepunyaannya. Belum lagi berpuluh-puluh pintu toko di Pekan Ubit. Begitupun Umar tidak kikir, setiap meugang puasa dan hari raya di depan rumahnya yang besar bertimbun erkodi-kodi kain dan daging bertumpuk-tumpuk, itu semua buat dibagi-bagikan kepada janda, anak yatim dan fakir miskin, seperti bapaknya dia memang murah hati, kau lihat Ranie tahi lalat besar di pergelangan tangan kirinya, itu barangkali yang membuat Umar begitu dermawan. Umar memang beristri banyak, di setiap kampong dia punya satu istri, tapi dia berkecukupan bukan?”
Nanto dan Umar tubuhnya juga dibalut lumut.

Hari-hari selanjutnya kami melihat tubuh-tubuh yang dibalut lumut yang mengapung bagai keranjang Musa bertambah banyak. Melebihi tubuh-tubuh yang tidak dibalut lumut. Perbedaan nyata antara tubuh yang dibalut lumut dan yang tidak adalah pada bau yang tidak menyengat dan jasad yang tidak membusuk. Tubuh-tubuh yang dibalut lumut tak banyak dikenali kakek. Begitupun tubuh-tubuh yang tidak dibalut lumut.

“Mereka bukan orang-orang di sekitar sini. Barangkali saja mereka dibawa ke sini cuma buat dipancung lalu dihanyutkan ke sungai. Sebaliknya, aku mengira orang-orang mukim kita yang idculik juga akan dipancung dan akan dihanyutkan ke sungai yang lebih jauh dari mukim kita. Kau bayangkan alangkah banyaknya sungai di daerah kita ini.”

Kami tak lagi mencari bapak. Seperti kata kakek, barangkali saja bapak telah dipancung dan dihanyutkan di sungai lain. Mendengar itu aku mengangis tersedu-sedu. Aku rindu bapak. Aku berdoa semoga bapak juga dibalut lumut. Kakek juga berharap demikian. Kakek berujar, ada sesuatu dengan jasad yang dibalut lumut. “ Mustahil ada jasad yang tak berbau dan membusuk padahal sudah berhari-hari temponya. Pasti ada sesuatu, sesuatu yang salah dan keliru. Beruntunglah kita, Ranie. Kita termasuk orang-orang yang dipelihara keajaiban itu oleh Tuhan. Semoga bapakmu juga demikian adanya.”

Kami juga tak lagi merakit, tidak mungkin karena sungai kian meruah dengan tubuh-tubuh yang dibalut lumut dengan yang tak dibalut lumut. Kadang, kami sekadar menunggu di pinggir sungai di atas pematang seaya bermain tebak-tebakan, apakh tubuh yang besembunyi di balik ranting waru atau yang tak kelihatan di balik batu besar itu dibalut lumut atau bukan…..

***
Matikan segala lampu. Ikuti cahaya kunang-kunang. Di depan sisa 100 meter, rumah istri mudanya. Intel kita melaporkan Mungkar ada di sana. Kepung. Siapkan senjata kalian. Hati-hati. Orang itu sangat berbahaya. Dia lantak 10 polsek, 13 reo di dalam seminggu. Tangkap hidup-hidup. Melawan tembak. Aku tak ingin ini gagal.
Ranie sendiri yang mengeksekusinya ketika fajar sempurna ***

Catatan :
Aneuk cahi (Aceh) : tukang syair (narator) yang mengiringi segala gerak dalam tarian seudati.
Keuduri laot (Aceh) : kenduri laut, tradisi umum masyarakat pesisir, setiap angin musim tiba, ritual penyampaian rasa terima kasih kepada pencipta.
Meugang (Aceh) : tradisi dalam masyarakat Aceh menjelang satu-dua hari lagi puasa, atau lebaran, di mana setiap rumah minimal seratus harus ada sekilo daging.
Reo : truk angkutan tentara.

Loading...

0 comments:

Post a Comment