Random Post

Saturday, June 5, 2010

Cerpen - Perempuan dan Sebatang Pohon

Dyah Indra Mertawirana

Bagi perempuan, kenangan pada lelaki adalah seperti kenangan pada sebatang pohon. Angin putih. Langit putih. Daun-daun putih. Burung gereja putih. Suara-suara putih.

Perempuan itu masih berpijak pada tanah cokelat dengan seorang lelaki cokelat bersandar pada batang cokelat dan memberinya kenangan cokelat. Ada gemetar kata-kata cokelatnya menguraikan janji.

“Nikmatilah cokelat ini,” getar suaranya menyentuh hati perempuan bergaun merah berpipi merah dengan jepit rambut merah dan suaranya yang meranum merah. Dunianya merah. Kembang-kembang merah. Bayi merah dari peluk cium dan gigitan merah mengucur bersama darah merah bekas tebasan golok yang menggorok seorang lelaki cokelat bersama kenangan cokelat. Rimbun semak-semak cokelat , gigil. Sekuntum mawar yang juga merah menabur anyir gelisah dengan kenangan yang tertumbuk pada tanah cokelat lelaki basah keringat cokelat asin kelaminnya dan napasnya yang tenggelam di akar batang pohon cokelat.

Pertama sekali masih putih. Angin putih langit membawa daun-daun putih berdesah-desah putih memikat burung gereja putih. Tak ada yang terkenang dari putih. Tak ada yang tampak dari putih. Putih. Tak ada.
Perempuan itu membawa merahnya ke tanah cokelat lelaki cokelat bersandar pada payudara kecilnya yang memerah gemetar bersuara merah putih cokelat, gelisah dengan hangat dan akhirnya menyukai cokelat lemak keringat sedikit lender mengulum dan mengecap hingga dasar, dalam,tuai kerontang, kerak, dan penghabisan. Hujan hijau, akar-akar hijau, kelopak bunga hijau, melumut di sepanjang kata-kata cokelat yang melepas lelaki cokelat dan perempuan merah dalam gigil ke hangat basah, seluruhnya basah, ketiak basah, tungkai basah, darah basah, napas basah. Dunia basah. Hijau. Basah.

Bagi perempuan, kenangan pada lelaki adalah seperti kenangan pada sebatang pohon.Angin putih. Langit putih. Daun-daun putih. Burung gereja putih. Suara-suara putih.

Kenangan tak terbuat dari pualam, tapi menggumpal di gumpalan putih kepala yang bergumul dengan serat-serat saraf merah dan kulit cokelat yang menampar hujan hijau. Kenangan adalah bola-bola kecil yang siap dikumpulkan dan dipukul-pukulkan ke langit putih sewaktu-waktu. Kenangan datang dari hujan hijau. Menumbuhkan biji-biji ngengat yang mati karena kering., menumbuhkan sulur-sulur bulu ulat yang inginkan kupu-kupu melayang melintas cakrawala, menumbuhkan sel-sel yang hampir terkulai mati, menumbuhkan gairah yang mulai asing dan sepi. Kenangan menggeliat berlarian melihat keramaian anak-anak yang berlari tanpa cawat tanpa dosa tanpa tahu esok akan makan apa tanpa berpikir sesuatu dengan serius, kalau datang, ya, datanglah. Mengelupas awan menjadi hujan, tiba-tiba. Itulah kenangan. Tetapi, muasalnya jelas. Kenangan datang dari hujan hijau.

Barangkali saja kenangan ada di daun-daun lepas, mega-mega merah pucat, gang kecil, bangku taman atau buku harian. Tetapi, perempuan bergaum merah berpipi merah dengan jepit rambut merah dan suaranya yang meranum merah ini hanya memiliki kenangan pada sebatang pohon. Manis, pahit, legit. Kenangannya yang merah, putih, cokelat. Ada suara lelaki cokelat di gerai daun luruhnya. Ada lembut gerakan tangan di arah anginnya. Muasalnya jelas. Kenangannya datang dari hujan hijau.

Ada teror di hujan hijau, ada teror di lelaki cokelat penuh hujan di tubuhnya membawa sekuntum mawar merah yang dua di antaranya telah cokelat tepian kelopaknya dengan anyir janji merah darah bayi yang telah menggorok lehernya di bawah batang cokelat dan bisikan lirih gemetar dari bibir merah yang bercampur putih hijau cokelat, “Aku menikmati cokelatmu saat ini, untuk terakhir kali. Dan aku akan menuaimu setiap kali, pada pohon ini!” Lelaki cokelat demam tubuhnya tinggi seperti keinginan terbangnya yang tinggi, mimp-mimpi tinggi, janji-janji tinggi, petaka tinggi. Burung gereja putih tinggi terkecipak muncrat darahnya segar merah dari tebasan golok.

Bagi perempuan, kenangan pada lelaki adalah seperti kenangan pada sebatang pohon. Angin putih. Langit putih. Daun-daun putih. Burung gereja putih. Suara-suara putih. Sebatang pohon dengan batang cokelat garut-garut batangnya yang tercabik-cabik. Pahatan yang lebih buruk dari sebelumnya.

Pertama kali, perempuan bergaun merah berpipi merah dengan jepit rambut merah dan suaranya yang meranum merah itu datang sendirian saja. Mata merah yang jauh itu menatap seonggok batang cokelat yang kerontang haus. Mata itu menyimpan duka anak-anak ulat pohon yang kelaparan tak berbulu, berwajah cokelat, sekarat. Darah ibu yang merah menampar-nampar pipinya hingga bulu halus diwajahnya berdiri. Darah ibu yang terenyuh, haru. Senyum merahnya tertutupbulu halus wajahnya. Dan dukanya.

Lelaki cokelat muncul dari reribun semak naluri. Sebuah kewajaran ketika sepi menyelinap di masing-masing diri, gemetar saling menatap. Ada aku di tubuhmu dan kau di tubuhku. Ada sepi, dingin dan sembilu. Tetapi tak sekarat seperti anak-anak ulat karena hujan hijau lelah. Ketika mulai saling tatap perempuan bergaun merah berpipi merah dengan jepit rambut merah dan suaranya yang meranum merah itu seperti menatap batang cokelat di depannya yang kerontang dan penuh anak ulat. Ketika mulai saling tatap lelaki itu menatap ada anak sungai mengalir di payudara kecil perempuan itu di balik gaun merahnya yang berundai-undai ada danau tenang yang tersimpan di rahim perempuan itu yang akan memberinya ribuan telaga kecil. Akan datang hujan hijau. Akan penuh daun dengan merah perempuan itu, bij-biji dan kelopak bunga.

Lelaki cokelat dan perempuan bergaun merah berpipi merah dengan jepit rambut merah dan suaranya yang meranum merah itu keduanya diam. Saling tatap, hangat.

Ada kedalamanku di kedalamanmu. Ada telaga, danau, sungai dan kerontang di diriku dan dirimu. Ada aku kamu. Tak ada kenalan yang panjang, hanya kewajaran yang lebih alami dari perbuatan paling primitive sekalipun.
Lalu wajar saja langit putih menebar hujan hijau menabur benih-benih menghujam kerontang dengan tumbuhan perlahan tanpa saling memaksakan tanpa saling terburu tanpa saling ketakutan akan melukai tanpa prasangka. Hanya kewajaran yang alami dari perbuatan paling primitif sekalipun. Itulah bahasa keduanya. Lalu keduanya bersandar pada batang cokelat sebuah pohon yang menebar harum hijau.

Lelaki cokelat itu mengeluarkan sebilah pisau, memegangkan gagangnya pada tangan merah perempuan yang masih gemetar basah bibirnya menunjuk batang di sebelahnya.
“Apa?”
“Aku tidak bisa melukis di batang?”
“Apa?”
“Mengukir?”
“Apa?”
“Aku tidak bisa mngukir?”
“Memahatnya!”
“Sudah hentikan, tak satu pun aku bisa. Kau saja!”
Lelaki cokelat itu menggamit telapak tangan perempuan itu dan perlahan mengukirnya. Keduanya. Itulah kenapa bagi perempuan, kenangan pada lelaki adalah seperti kenangan pada sebatang pohon.

Pada masa-masa yang akan datang akan datang ngilu di darah. Memerah sewarna api. Ingin melahap dan membakar. Pada masa-masa itulah luka tertuai. Pada masa-masa itulah kenangan akan membunhu, Meski tidak semuanya manis, meski tidak semuanya pahit. Semua kenangan akan membunuh. Kenangan seperti gunung yang terpendam di kedalaman laut membawa lahar dan larva. Juga karang-karang yang indah.Dan semuana akan membunuh.

Tidak ada yang perlu diburu. Tetapi, perempuan itu, perempuan bergaun merah berpipi merah dengan jepit rambut merah dan suaranya yang meranum merah itu sekarang yang kerontang. Tak bertelaga, tak bersungai, tak berdanau. Pipinya masih merah berajut cokelat bergurat menutupi bulu halus wajahnya. Sekarang ia memburu telaga, sungai, dan danau putih. Tapi langit putih tak menyisakan satupun, sekalipun hanya hujan hijau. Rahimnya yang berdanau bening melipat-lipat daging membawa airnya bertabur ke mana-mana. Ke laut hening. Ramai bocah-bocah yang bermain petak umpet di rimbun taman kota mengiring suara gigil angin lelaki cokelat. Hanya pohon bau plastic yang membawa hijau di matanya tak menitikkan air di akanya yang liat lembab.

Perempuan bergaun merah berpipi merah dengan jepit rambut merah dan suaranya yang meranum merah mengembara dari pohon ke pohon. Mencari pahatan lelaki cokelat dan tubuhnya tertinggal entah di bumi cokelat luas mana. Kaki-kakinya terus menjejak di antraa tanah gembur basah dengan gelisah kalau-kalau napasnya sampai. Dengan gelisah kalu kenangan pada sebatang pohon tak ada lagi. Sebatang pohon dan perempuan bergaun merah berpipi merah dengan jepit rambut merah dan suaranya yang meranum merah.

“Di mana?”
“Masih jauh?”
“Seberapa lama?”
“Aku lelah!”
“Aku lupa,di mana?”
Bagi perempuan, kenangan pada lelaki adalah seperti kenangan pada sebatang pohon. Angin putih. Langit putih. Daun-daun putih. Burung gereja putih. Suara-suara putih.

Hanya sebatang pohon yang membuat ada lelaki cokelat muncul dari gerimbun semak, gemetar menyapanya dan hanya saling tatap. Hanya saling tatap. Hanya sebatang pohon berwarna merah, putih, cokelat itu yang membawa kenangan pada gemasa cokelat rambut lelaki itu. Sebatang pohon.
“Aku ingat, namanya!”

Tak ada tebasan golok merah dan lelaki cokelat liat bersama lumpur membuatnya berguling-guling basah, lembab, liat. Hanya sebatang pohon dan perempuan bergaun merah berpipi merah dengan jepit rambut merah dan suaranya yang meranum merah. Dunianya merah. Kembang-kembang merah. Dan sebaris tulisa d’amor Adit pada batang pohon cokelat yang dikelupasanya dengan sebilah pisau kecil. Anak ulat menggeliat keluar dan jatuh ke tanah cokelat menyemburat merah darah dari tubuhnya yang hamper patah.

Tangannya gemetar perlahan sebelum pisau itu membuat pahatan baru. Tangannya gemetar perlahan sebelum ia yakin mengusaikan kenangan-kenangannya. Tangannya gemetar karena ia mampu memahat sendirian, mengelupas sebaris tulisan yang benar bahwa lelaki cokelat yang hanya ditatapnya itu mempunyai nama, menisa kelopekan garut-garut pada batang cokelat semirip pipi merahnya yang ada garut cokelat menutup bulu halus wajahnya.

Itulah kenapa bagi perempuan, kenangan pada lelaki adalah seperti kenangan pada sebatang pohon. Angin putih. Langit putih. Daun-daun putih. Burung gereja putih, Suara-suara putih.
Angin,langit, daun-daun, burung gereja, suara-suara. Putih.

Bandar Lampung, 8 Januari 2003



YANG DIBALUT LUMUT
Kumpulan Cerpen Pemenang
Lomba Kreativitas Pemuda 2003
Depdiknas

Loading...

0 comments:

Post a Comment