Random Post

Sunday, September 14, 2014

Bagaimana Hukum Menikah Tanpa Restu Orangtua atau Keluarga

KETENTUAN NIKAH
 
Sebagai pijakan awal dari pembahasan ini perlu dijelaskan lebih dulu tentang syarat-rukun nikah yang menentukan sah-tidaknya suatu pernikahan. Syarat-rukun nikah secara umum ada empat (walaupun hal ini masih diperselisihkan), yaitu: adanya calon suami dan calon isteri yang saling rela untuk menikah, lafal ijab dan qabul yang jelas, dua orang saksi yang adil dan wali dari calon isteri.

Menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih) nikah itu tidak sah tanpa wali. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda (yang maknanya): “Tidak sah nikah tanpa wali yang cerdas dan dua orang saksi yang adil” (HR. ad-Daruquthniy, Ibnu Majah dan Ahmad).

Bagaimana halnya jika terjadi, karena pertimbangan tertentu orangtua menolak dan tidak merestui pilihan anaknya (yang paling mungkin adalah anak perempuan), dan bagaimana pula jika anak gadisnya tetap bersikukuh nikah dengan pria yang dicintainya?

BERBAKTI KEPADA ORANTUA

Berbakti kepada kedua orangtua (birrul waalidain) termasuk salah satu ajaran asasi Islam. Allah SWT dan Rasul-Nya amat menekankan birrul waalidain ini dalam banyak ayat al-Qur’an maupun hadis shahih. Di antara ayat yang terkait hal ini adalah firman Allah SWT (yang maknanya): ” Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbakti kepada kedua orangtuamu. Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut di sisimu, maka jangan sekali-kali kamu mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, apalagi membentak mereka. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (santun)” (al-Isra’ ayat 23). Sedang hadis yang terkait dengan birrul waalidain antara lain adalah sabda Nabi SAW (yang maknanya): “Ridlo Allah SWT itu ada dalam ridlo kedua orangtua, begitu juga murka Allah SWT itu ada dalam murka keduanya” (HR at-Turmudziy dari Abdullah bin ’Amr).

Tetapi bakti dan kepatuhan anak kepada orangtuanya ini terbatas pada hal-hal yang tidak mengarah kepada pelanggaran terhadap ajaran Islam. Jika sudah mengarah kepada pelanggaran ajaran agama, maka yang ada bukan bakti dan patuh, melainkan hormat saja. Demikian makna firman Allah SWT: ”Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku, sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mematuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan baik…” (Luqman ayat 15).

Oleh karena itu, semua anak wajib ekstra hati-hati dalam menghadapi dan menyikapi orangtua mereka. Segala sikap dan ucapan anak harus mengacu pada pertimbangan perasaan dan kepatutan menghadapi orangtua. Sekali pun andaikan orangtua jelas salah atau tidak patuh pada ajaran agama, maka masih tersisa kewajiban anak untuk menghormatinya.

Tetapi orangtua juga tidak dibenarkan arogan dan semena-mena memperlakukan anaknya, jangan menjadi orangtua yang memancing kedurhakaan anak. Orangtua harus mengarahkan anak untuk mematuhi mereka dengan memberi contoh kepatuhannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

NIKAH TANPA RESTU ORANGTUA

Dalam kaitan nikah, secara fiqih formal (hukum), pilihan anak yang berbeda dengan orangtua atau keengganan orangtua merestui pilihan anaknya tidak berpengaruh apa-apa terhadap sahnya pernikahan, karena restu orangtua itu tidak terkait syarat-rukun nikah. Dengan demikian nikah tersebut tetap sah dan karenanya hubungan suami isteri antara keduanya juga halal. Dalam perspektif fiqih formal, ayah lebih dominan dibanding ibu, karena menurut  jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih) ayahlah yang berhak menjadi wali bagi anak perempuannya.

Tetapi secara fiqih moral (akhlaq) dan fiqih sosial (kemasyarakatan), pernikahan yang tidak direstui orangtua akan bermasalah dan menjadi handikap bagi hubungan anak-orangtua, sesuatu yang harus dihindari. Begitu juga kengototan orangtua pada penolakannya terhadap pilihan anaknya merupakan hal yang mesti ditiadakan. Kunci semua itu adalah komunikasi antara orangtua-anak harus terjalin baik sejak mula. Dalam perspektif fiqih moral, restu ibu lebih dominan dibanding ayah, karena bakti anak kepada ibu adalah 3 berbanding 1 terhadap ayah (HR al-Bukhariy), asal mereka sama-sama bertaqwa kepada Allah SWT.
Perlu dicatat dalam kaitan ini, jika ada orangtua yang menolak pilihan anaknya hanya karena pertimbangan etnis atau tradisi, maka orangtua demikian harus berfikir seribu kali untuk mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah SWT nanti, karena tegas jelas Allah SWT berfirman (yang maknanya): ”Hai manusia, sungguh Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, kemudian menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kalian. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (al-Chujuraat ayat 13). Orangtua demikian juga harus malu kepada Rasulullah SAW yang bertahun-tahun berjuang mendakwahkan Islam dan menghilangkan rasisme. Dalam suatu khuthbah yang berapi-api pada hari Tasyriq, di hadapan ribuan sahabat, Rasulullah SAW berseru (yang maknanya): ”Hai manusia, ingatlah bahwa Tuhan kalian satu dan bapak kalian juga satu. Ingatlah tidak ada kelebihan orang Arab terhadap non-Arab, tidak juga orang non-Arab terhadap orang Arab; tidak juga orang berkulit merah terhadap kulit hitam, tidak juga orang kulit hitam terhadap kulit merah, KECUALI DENGAN KETAQWAANNYA…” (HR Ahmad dari Abi Nadlrah). Makna hadis ini benar-benar sama dan sebangun dengan kandungan firman Allah SWT dalam al-Chujurat 13 di atas, bahwa ketaqwaan adalah penentu kemuliaan siapapun, bukan etnis atau suku dan lain-lain. Karenanya jangan ada lagi etnis tertentu yang merasa lebih leading, unggul dan eksklusif terhadap etnis yang lain. Bukankah tokoh-tokoh kafir yang memusuhi bahkan berkali-kali berperang melawan Rasulullah SAW juga satu etnis dengan beliau?

Oleh karena itu, hendaknya semua orangtua bersikap arif dan bertindak bijak ketika menghadapi anak yang sudah menjalin hubungan sedemikian dekat dengan seseorang dan merasa sudah amat cocok sehingga tidak mungkin lagi dipisahkan, maka lebih baik segera dinikahkan agar terhindar dari perbuatan zina. Jangan ada lagi orangtua yang bertindak otoriter dengan sikap tanpa kompromi melarang dan menghalang-halangi pernikahan mereka, yang kemudian amat memungkinkan terjadinya perzinaan. Hal ini tentu dengan syarat bahwa pihak pria harus beragama Islam. Tetapi jika pihak lelaki non-muslim, maka harus masuk Islam dulu. Jika tidak mau, maka sengotot apa pun tidak perlu diloloskan, karena dinikahkan pun tetap tidak sah dan hubungan mereka tetap dihukumi zina. Jadi bagi wanita muslimah, mutlak selektif dalam hal agama pria yang dicintai, harus muslim. Kalau tidak, maka pilihannya adalah mendapat “suami” non-muslim tapi jurusan neraka, atau berpisah dari non-muslim yang dicintai tapi akan dicintai Allah SWT dan tentu saja jurusan surga.

Wallaahu a’lam

 Prof Dr. Ahmad Zahro, MA
 Rektor Unipdu Jombang

Loading...

0 comments:

Post a Comment