KETENTUAN NIKAH
Sebagai pijakan awal dari pembahasan ini perlu dijelaskan lebih dulu
tentang syarat-rukun nikah yang menentukan sah-tidaknya suatu
pernikahan. Syarat-rukun nikah secara umum ada empat (walaupun hal ini
masih diperselisihkan), yaitu: adanya calon suami dan calon isteri yang
saling rela untuk menikah, lafal ijab dan qabul yang jelas, dua orang
saksi yang adil dan wali dari calon isteri.
Menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih) nikah itu
tidak sah tanpa wali. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan
dari Ibnu Abbas dan Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda (yang
maknanya): “Tidak sah nikah tanpa wali yang cerdas dan dua orang saksi yang adil” (HR. ad-Daruquthniy, Ibnu Majah dan Ahmad).
Bagaimana halnya jika terjadi, karena pertimbangan tertentu orangtua
menolak dan tidak merestui pilihan anaknya (yang paling mungkin adalah
anak perempuan), dan bagaimana pula jika anak gadisnya tetap bersikukuh
nikah dengan pria yang dicintainya?
BERBAKTI KEPADA ORANTUA
Berbakti kepada kedua orangtua (birrul waalidain) termasuk salah satu ajaran asasi Islam. Allah SWT dan Rasul-Nya amat menekankan birrul waalidain
ini dalam banyak ayat al-Qur’an maupun hadis shahih. Di antara ayat
yang terkait hal ini adalah firman Allah SWT (yang maknanya): ” Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan
hendaklah kamu berbakti kepada kedua orangtuamu. Jika salah seorang
dari keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut di sisimu, maka
jangan sekali-kali kamu mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, apalagi
membentak mereka. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia
(santun)” (al-Isra’ ayat 23). Sedang hadis yang terkait dengan birrul waalidain antara lain adalah sabda Nabi SAW (yang maknanya): “Ridlo Allah SWT itu ada dalam ridlo kedua orangtua, begitu juga murka Allah SWT itu ada dalam murka keduanya” (HR at-Turmudziy dari Abdullah bin ’Amr).
Tetapi bakti dan kepatuhan anak kepada orangtuanya ini terbatas pada
hal-hal yang tidak mengarah kepada pelanggaran terhadap ajaran Islam.
Jika sudah mengarah kepada pelanggaran ajaran agama, maka yang ada bukan
bakti dan patuh, melainkan hormat saja. Demikian makna firman Allah
SWT: ”Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku, sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mematuhi
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan baik…” (Luqman ayat 15).
Oleh karena itu, semua anak wajib ekstra hati-hati dalam menghadapi
dan menyikapi orangtua mereka. Segala sikap dan ucapan anak harus
mengacu pada pertimbangan perasaan dan kepatutan menghadapi orangtua.
Sekali pun andaikan orangtua jelas salah atau tidak patuh pada ajaran
agama, maka masih tersisa kewajiban anak untuk menghormatinya.
Tetapi orangtua juga tidak dibenarkan arogan dan semena-mena
memperlakukan anaknya, jangan menjadi orangtua yang memancing
kedurhakaan anak. Orangtua harus mengarahkan anak untuk mematuhi mereka
dengan memberi contoh kepatuhannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
NIKAH TANPA RESTU ORANGTUA
Dalam kaitan nikah, secara fiqih formal (hukum), pilihan anak yang
berbeda dengan orangtua atau keengganan orangtua merestui pilihan
anaknya tidak berpengaruh apa-apa terhadap sahnya pernikahan, karena
restu orangtua itu tidak terkait syarat-rukun nikah. Dengan demikian
nikah tersebut tetap sah dan karenanya hubungan suami isteri antara
keduanya juga halal. Dalam perspektif fiqih formal, ayah lebih dominan
dibanding ibu, karena menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih) ayahlah yang berhak menjadi wali bagi anak perempuannya.
Tetapi secara fiqih moral (akhlaq) dan fiqih sosial (kemasyarakatan),
pernikahan yang tidak direstui orangtua akan bermasalah dan menjadi
handikap bagi hubungan anak-orangtua, sesuatu yang harus dihindari.
Begitu juga kengototan orangtua pada penolakannya terhadap pilihan
anaknya merupakan hal yang mesti ditiadakan. Kunci semua itu adalah
komunikasi antara orangtua-anak harus terjalin baik sejak mula. Dalam
perspektif fiqih moral, restu ibu lebih dominan dibanding ayah, karena
bakti anak kepada ibu adalah 3 berbanding 1 terhadap ayah (HR
al-Bukhariy), asal mereka sama-sama bertaqwa kepada Allah SWT.
Perlu dicatat dalam kaitan ini, jika ada orangtua yang menolak
pilihan anaknya hanya karena pertimbangan etnis atau tradisi, maka
orangtua demikian harus berfikir seribu kali untuk mempertanggung
jawabkannya di hadapan Allah SWT nanti, karena tegas jelas Allah SWT
berfirman (yang maknanya): ”Hai manusia, sungguh Kami menciptakan
kalian dari laki-laki dan perempuan, kemudian menjadikan kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh
yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara
kalian. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (al-Chujuraat
ayat 13). Orangtua demikian juga harus malu kepada Rasulullah SAW yang
bertahun-tahun berjuang mendakwahkan Islam dan menghilangkan rasisme.
Dalam suatu khuthbah yang berapi-api pada hari Tasyriq, di hadapan ribuan sahabat, Rasulullah SAW berseru (yang maknanya): ”Hai
manusia, ingatlah bahwa Tuhan kalian satu dan bapak kalian juga satu.
Ingatlah tidak ada kelebihan orang Arab terhadap non-Arab, tidak juga
orang non-Arab terhadap orang Arab; tidak juga orang berkulit merah
terhadap kulit hitam, tidak juga orang kulit hitam terhadap kulit merah,
KECUALI DENGAN KETAQWAANNYA…” (HR Ahmad dari Abi Nadlrah). Makna
hadis ini benar-benar sama dan sebangun dengan kandungan firman Allah
SWT dalam al-Chujurat 13 di atas, bahwa ketaqwaan adalah penentu
kemuliaan siapapun, bukan etnis atau suku dan lain-lain. Karenanya
jangan ada lagi etnis tertentu yang merasa lebih leading, unggul dan
eksklusif terhadap etnis yang lain. Bukankah tokoh-tokoh kafir yang
memusuhi bahkan berkali-kali berperang melawan Rasulullah SAW juga satu
etnis dengan beliau?
Oleh karena itu, hendaknya semua orangtua bersikap arif dan bertindak
bijak ketika menghadapi anak yang sudah menjalin hubungan sedemikian
dekat dengan seseorang dan merasa sudah amat cocok sehingga tidak
mungkin lagi dipisahkan, maka lebih baik segera dinikahkan agar
terhindar dari perbuatan zina. Jangan ada lagi orangtua yang bertindak
otoriter dengan sikap tanpa kompromi melarang dan menghalang-halangi
pernikahan mereka, yang kemudian amat memungkinkan terjadinya perzinaan.
Hal ini tentu dengan syarat bahwa pihak pria harus beragama Islam.
Tetapi jika pihak lelaki non-muslim, maka harus masuk Islam dulu. Jika
tidak mau, maka sengotot apa pun tidak perlu diloloskan, karena
dinikahkan pun tetap tidak sah dan hubungan mereka tetap dihukumi zina.
Jadi bagi wanita muslimah, mutlak selektif dalam hal agama pria yang
dicintai, harus muslim. Kalau tidak, maka pilihannya adalah mendapat
“suami” non-muslim tapi jurusan neraka, atau berpisah dari non-muslim
yang dicintai tapi akan dicintai Allah SWT dan tentu saja jurusan surga.
Wallaahu a’lam
Prof Dr. Ahmad Zahro, MA
Rektor Unipdu Jombang
0 comments:
Post a Comment